Isi Hati Jauhar

99 6 6
                                    

Terimakasih sudah membaca cerita Darin.

Untuk yang ingin membaca dengan versi lebih cepat, bisa banget di aplikasi Fizzo.

Cerita ini diupdate dengan judul dan nama penulis yang sama.

Selamat Membaca...


"Tolong Syahna. Beri saya waktu. Setidaknya saya butuh menenangkan diri untuk menghadapi Mahda nantinya. Kehilangan ini sejujurnya sangat berat bagi saya. Jika bukan karena tanggungjawab saya terhadap Tuhan saya, rasa-rasanya saya juga ingin membersamai mereka. Jika membayangkan bahwa makhluk sekecil itu pun juga bisa pergi memenuhi panggilan Tuhannya, rasanya begitu menyakitkan. Tapi disisi lain saya pun sadar bahwa bekal saya pun masih sangat sedikit. Jika dibanding mereka yang telah mendahului saya, tentu saja saya akan kalah telak. Status mereka masih suci. Hanya makhluk kecil tanpa dosa yang tak pernah sengaja mengingkari perintah Tuhannya. Mereka belum mengerti apapun. Zidan saya yang pintar itu, bocah gembil kesayangan kami, dia sama sekali tidak pernah menghadirkan kedukaan ataupun amarah di hati kami. Yang selalu ia bawa hanyalah kebaikan dan keceriaan. Mungkin hanya catatan putih yang ia miliki. Sedang putri kecil kami, Zana, dia begitu suci. Bayi kecil itu baru saja terlahir di dunia. Hanya saja Allah lebih menjaganya dengan tidak membiarkan ia melihat berbagai kemaksiatan yang ada di dunia. Betapa beruntungnya kedua putra-putri saya Itu."

Syahna terdiam mendengar perkataan Jauhar. Ia tidak bisa menyahuti curahan hati Jauhar itu. Dalam diamnya ia membiarkan seluruh perkataan Jauhar. Dibiarkannya Jauhar menangis sambil kembali mencurahkan seluruh hatinya.

"Syahna. Zidan dan Zana adalah buah hati saya dan Mahda. Mereka permata berharga pemberian Tuhan pada kami. Kami sangat menyayanginya. Tapi sejatinya saya pun sadar bahwa hakikat keberadaan mereka pun hanyalah titipan. Bahkan saya juga tidak tahu apakah saya masih bisa berkumpul dengan mereka di akhirat nanti. Sekalipun saya memang berharap bahwa Zidan dan Zana adalah wasilah kebaikan bagi saya dan Mahda. Sungguh saya sangat menyayangi mereka. Kehadiran mereka adalah anugerah terindah bagi saya. Menyayangi mereka berdua adalah bentuk rasa syukur tertinggi yang bisa saya berikan pada Tuhan saya karena telah menitipkan permata-permata indah milik-Nya. Saat ini saya hanya berduka. Akibat terlalu tulus mencinta menjadikan saya sedikit lupa diri. Demi Allah mereka pun hanyalah titipan. Bukan hak saya untuk mempertanyakan apa alasannya. Tapi maaf, rasa pedih ini benar-benar menyiksa. Kesedihan yang saya rasakan ini benar-benar membuat hati saya sakit."

Airmata Syahna tidak dapat dibendung saat mendengar seluruh curahan hati Jauhar itu. Oh Allah.. beginilah kesakitan yang dialami oleh seorang ayah yang kehilangan anak-anaknya. Ada duka yang mendalam dari tiap kalimat yang terlontar dari lisan Jauhar.

"Apa saya terlalu meratapi kepergiannya Syahna.. Apa saya terlalu lemah menjadi seorang ayah,, Apa saya terlalu melankolis untuk seorang lelaki.."

Hening untuk beberapa saat. Syahna memilih untuk memberikan jeda bagi Jauhar.

"Tidak ada yang salah dari setiap rasa yang kau alami itu Jauhar. Hal itu manusiawi. Terutama bagi seorang ayah yang baru saja kehilangan seluruh anaknya. Aku memahamimu. Kamu boleh terus bergelung dalam rasamu jika memang ada jaminan bahwa hal itu tidak akan membuatmu kufur atas segala nikmat dari Tuhanmu. Disini aku hanya ingin mengingatkanmu untuk tidak terlalu berlebihan dalam mencinta. Cintai saja secukupnya agar kadar cintamu pada makhluk-Nya tidak mengalahkan kecintaanmu pada penciptanya."

"Tentu, Syahna. Mungkin yang harus saya lakukan memang mengurangi kadar cinta saya. Selama ini saya terlalu mencintai sesuatu. Bisa jadi karena kecintaan saya itu, maka Allah mengambilnya dari saya."

Syahna hanya tersenyum mendengur perkataan Jauhar. "Jadi, apakah kamu sudah merasa lega setelah mencurahkan seluruh isi hatimu tuan Jauhar yang terhormat? Saya rasa anda perlu mempersiapkan diri untuk menghadapi nyonya Mahda," Syahna sengaja memberi imbuhan tuan pada panggilannya terhadap Jauhar. Ia hanya ingin sedikit menghibur Jauhar. Terbukti pria iku sudah bisa sedikit tersenyum.

"Jadilah tangguh tuan. Tidak ada istilah seorang raja yang gentar di medan perang. Jadilah kuat agar bisa menjaga permaisurimu. Kamu harus bisa menenangkan hati Mahda nanti selaku permaisuri pemilik hatimu," imbuh Syahna lagi.

"Terimakasih, Syahna. Setidaknya kehadiranmu disini akan nantinya akan sangat membantu Mahda. Dan itu sangat melegakan bagi saya. Saya yakin Mahda sendiri akan sangat bergantung padamu nanti."

"Kamu suaminya, Jauhar. Keberadaanmu lebih utama baginya. Asal kamu kuat, insya allah Mahda juga akan kuat. Sebagai sahabat baik Mahda, yang bisa kulakukan hanya mendukungnya."

"Ya, mungkin kamu memang benar Syahna. Setidaknya saya harus kuat demi Mahda. Saya telah menitipkan kembali dua buah permata berharga kesayangan saya kepada pemiliknya yang asli. Semoga Allah senantiasa memberikan kesabaran bagi kami semua yang ditinggalkan."

"Amiinn.. Semoga kamu dan Mahda bisa melewati semua ini. Allah akan memberikan ganti yang lebih baik untuk kamu dan Mahda, Jauhar."

"Tentu Syahna. Saya yakin akan hal itu. Janji-Nya itu haq. Tidak ada yang perlu saya ragukan."

Melihat binar mata Jauhar yang mulai kembali berwarna, Syahna merapal syukur dalam hatinya. Setidaknya dengan ketangguhan Jauhar nanti, Mahda akan baik-baik saja. Lagipula Syahna sendiri juga merasa tidak tega jika melihat kondisi Jauhar yang seperti tadi. Ia tidak kuasa melihat keterpurukan yang dialami Jauhar. Sebagai seorang wanita, hatinya jauh lebih sensitive terhadap perkara-perkara yang melankolis. Untung saja ia masih bisa mengontrol diri sehingga ia bisa sedikit membantu Jauhar untuk meringankan beban hatinya. Setidaknya Jauhar telah mengeluarkan ganjalan yang ada di hatinya.

"Dokter Jauhar," panggil seorang suster secara tiba-tiba dari arah pintu. Syahna dan Jauhar serempak menoleh kesana.

Sedari tadi pintu ruangan itu memang sengaja di buka oleh Syahna. Ia tidak ingin jika harus berdua saja bersama Jauhar di satu ruangan yang sama dalam keadaan tertutup. Semua ini Syahna lakukan untuk untuk menghindari fitnah. Sebagai seorang wanita dewasa yang masih berstatus sigle dan virgin, Syahna sangat memahami kewajibannya. Ia harus menjaga marwahnya sebagai seorang wanita muslimah.

"Ada apa, suster?" tanya Jauhar.

"Jenazah bayi anda sudah selesai diurus. Disini saya hanya ingin menanyakan apakah anda ingin membawa jenazahnya dengan ambulan atau mobil pribadi anda?"

"Saya akan membawanya langsung dengan mobil pribadi. Tidak perlu menggunakan ambulan. Saya bisa menggendong putri kecil saya. Lagipula saya ingin memeluknya untuk yang terakhir kalinya."

"Baiklah, dokter. Saya akan memberitahukannya kepada yang lain. Saat ini jenazah putri dokter bersama dengan tuan Hamid ar Rayyan."

"Baik, suster. Saya akan segera kesana."

Setelah suster iku berlalu, Jauhar memutuskan untuk segera menghampiri Hamid ar Rayyan yang tengah bersama dengan bayinya. Sedang Syahna ia lebih memilih untuk menengok Mahda terlebih dahulu.

"Aku akan pergi ke ruangan Mahda sebentar, Jauhar. Setelah iku baru aku akan menyusul kalian semua. Atau jika memang aku terlalu lama, kalian bisa pulang terlebih dahulu. Aku bisa pulang dengan menggunakan taksi."

"Tolong sampaikan salamku pada Mahda, Syahna. Untuk saat ini, sungguh aku tidak sanggup untuk menemuinya."

"Tentu."

Mereka pun berpisah di depan lift. Jauhar memilih untuk turun ke lantai satu dengan menggunakan tangga, dan Syahna masuk ke lift untuk menuju ke ruangan Mahda di lantai empat. Letak ruangan Zana tadi memang berada di lantai dua.

Sesampainya di depan ruangan Mahda, Syahna melihat dokter Rahma yang terlihat tergesa-gesa memasuki ruangan Mahda. Jantung Syahna berdetak keras.

Apa yang terjadi dengan Mahda?



Jangan lupa tinggalkan jejak dengan vote dan comment supaya Darin tetap semangat menulis ya...


Persinggahan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang