Terimakasih sudah membaca cerita Darin.
Untuk yang ingin membaca dengan versi lebih cepat, bisa banget baca di aplikasi Fizzo dengan judul dan nama penulis yang sama.
Selamat Membaca...
"Udah siap, Na? Sopir kakek sudah ada di depan," kata Mahda saat melihat Syahna yang baru saja turun dari tangga. Semenjak Mahda kecelakaan, kamar Mahda dan Jauhar beralih ke lantai satu dan kamar untuk Syahna selaku tamu berada di lantai dua berdampingan dengan kamar Almarhum Zidan. Sedang umi Rahma mendapat kamar di samping kamar Mahda dan Jauhar yang sekarang.
"Sudah. Apa aku terlalu lama?" kata Syahna balik bertanya.
"Tidak. Sopir kakek juga baru datang. Umi, kami pamit pergi dulu ya."
"Hati-hati ya. Kalau ada apa-apa segera telpon umi," pinta umi Rahma. Mahda dan Syahna mengiyakan dan menyalami tangan umi Rahma. Setelah itu Syahna segera mendorong kursi roda Mahda menuju mobil. Rencananya mereka akan pergi ke salah satu butik langganan Mahda. Butik ini adalah butik favorit Syahna saat berbelanja di Bandung. Dulu Mahda, Zidan, dan Syahna sering berbelanja disana.
"Kapan jadwal filmnya tayang, Syahna?" tanya Mahda.
"Seharusnya jam satu siang. Tapi apa kamu yakin akan menonton sekarang? Kurasa waktu kita akan habis di butik. Belum lagi kita harus pergi ke salon jam empat nanti," kata Syahna.
"Kamu sudah membeli tiketnya?" tanya Mahda lagi.
"Sudah. Tapi tidak masalah jika kita harus menggagalkan rencana nonoton kita," jawab Syahna.
Setelah ia pikir-pikir lagi, Syahna kurang setuju dengan ide Mahda untuk menonton. Ia yakin kondisi bioskop saat ini akan sangat ramai karena hari ini adalah weekend. Ia takut Mahda akan merasa tidak nyaman karena harus berdesakan dengan menggunakan korsi roda. Jika mereka pergi ke butik atau salon, kondisinya akan lebih nyaman karena butik dan salon yang mereka tuju adalah butik dan salon khusus yang bisa didatangi setelah membuat janji.
"Baiklah, lebih baik kita segera pergi ke butik. Untuk masalah nonton, mungkin bisa dilakukan lain kali. Toh kamu juga masih lama berada disini," sahut Mahda ringan.
Syahna bersyukur mendengar hal itu. Setidaknya ia tidak perlu mencari=cari alasan yang lain untuk membujuk Mahda.
Seharian itu Syahna dan Mahda benar-benar menghabiskan waktunya untuk berbelanja. Mereka membeli beberapa pakaian couple. Mereka juga memilihkan beberapa gamis untuk umi Rahma. Sedang untuk Jauhar, Mahda membelikannya banyak kemeja baru.
"Sebenarnya aku sangat rindu dengan kedua anakku, Syahna," kata Mahda lirih saat telah berada di dalam mobil bersama Syahna. Saat ini mereka tengah menuju ke salon langganan Mahda untuk melakukan serangkaian perawatan. Tadi, Mahda sengaja menghubungi pemiliknya agar bisa datang lebih awal. Mungkin sekitar jam dua siang mereka sudah akan sampai disana.
"Mahda.. " Syahna meraih Mahda dalam pelukannya.
"Tidak apa-apa, Syahna. Aku tidak akan memaksamu untuk membawaku kesana. Lagipula mas Jo juga belum mengizinkaknku. Aku tahu alasan mas Jo ttidak mengizinkanku karena khawatir akan membuatku kembali histeris. Tapi sebenarnya aku sudah lebih tegar, Syahna. Aku akan menahan dukaku demi bertemu dengan kedua anakku. Aku tidak berani memaksa mas Jo karena aku tahu kalau sebenarnya mas Jo yang justru tidak siap untuk kembali mengunjungi makam Zidan dan Zana. Jika memang alasan utamanya adalah kesiapan mas Jo sendiri, maka aku tidak bisa memaksanya, Syahna," terang Mahda.
"Mahda, aku yakin Jauhar lebih mengkhawatirkan dirimu daripada rasa traumanya," balas Syahna.
"Tidak, Syahna. Aku adalah istrinya dan aku telah mengenalnya dengan baik. Selama ini mas Jo sengaja memendam dukanya demi diriku. Dia sama sekali tidak pernah menunjukkan kesedihannya di hadapanku. Hanya saja saat membahas mengenai Zidan dan Zana, raut mukanya akan langsung berubah. Aku bisa melihat ada rasa takut, kekhawatiran, dan rasa bersalah disana," kata Mahda.
"Lalu, apa yang kamu inginkan, Mahda? Jika memang kenyataannya begitu, apa yang bisa kulakukan untuk membantumu?" tanya Syahna.
"Entahlah, aku juga tidak tahu. Kurasa aku hanya perlu menunggu kesiapan mas Jo. Saat mas Jo telah siap nanti, dengan sendirinya dia akan mengajakku mengunjungi makam Zidan dan Zana. Sekalipun dalam hati kecilku sangat ingin mengunjungi mereka karena rinduku yang telah menumpuk, aku akan mencoba untuk menahannya" jawab Mahda sambil menangis. Sebagai seorang ibu, ia merasakan duka yang teramat karena belum bisa mengunjugi pusara anaknya sampai saat ini. Bagaimana mungkin ia bisa nekat mengunjungi mereka jika restu dari suaminya belum ia kantongi. Untuk saat ini yang bisa Mahda lakukan hanyalah mengirimkan banyak doa untuk putra-putrinya.
"Bersabarlah, Mahda. Jika memang kamu ingin, aku bisa membantumu untuk mendebat Jauhar. Bukankah tidak ada hukum bagiku sekalipun aku menolak larangannya? Atau aku juga bisa memintakan izin kepada tuan Hamid ar Rayyan. Aku yakin kakeknya itu akan mampu mebujuk Jauhar," tawar Syahna.
"Tidak, Syahna. Kamu tidak perlu melakukannya. Aku masih bisa membujuk mas Jo lagi. Setelah beberapa kali, aku yakin mas Jo akan luluh," kata Mahda.
"Baiklah, jika itu memang keputusanmu, maka aku akan mendukungmu."
Mereka berdua terdiam untuk waktu yang cukup lama. Suasana jalanan yang macet membuat keduanya asyik melihat sekitar.
"Syahna, sebenarnya aku ingin bertanya sesuatu kepadamu," kata Mahda tiba-tiba. Fokus Syahna yang semula tertuju pada jalanan, langsung beralih ke arah Mahda.
"Apa yang ingin kamu tanyakan Mahda?" tanya Syahna berusaha tenang. Diam-diam ia merasa berdebar. Entah mengapa fikirannya mengarah pada kondisi rahim Mahda saat ini. Firasatnya mengatakan bahwa Mahda akan segera mengetahuinya. Entah bagaimana caranya nanti yang akan membuat Mahda tahu. Yang jelas ia harus segera membicarakannya dengan Jauhar. Sedari awal ide untuk menyembunyikan fakta ini memang sangat beresiko.
"Aku merasa ada yang disembunyikan oleh mas Jo," ungkap Mahda.
"Memangnya apa itu? Mengapa kamu sampai mencurigai Jauhar?" Syahna bertanya dengan hati-hati.
"Firasatku yang mengatakannya, Syahna. Kamu tahu kan jika ikatan diantara suami-istri itu sangatlah kuat. Saat ini aku merasa mas Jo telah menyembunyikan sesuatu dariku. Kurasa ada suatu hal yang ditakuti olehnya. Ketakutan itu bukan sekedar ketakutan yang ia miliki akan kondisi emosiku yang kembali tidak stabil. Ada ketakutan lain yang coba mas Jo sembunyikan dariku. Akhir-akhir ini aku sering mendapati mas Jo melamunkan suatu hal. Saat itu aku bisa melihat ekspresi kecemasan dan ketakutan yang menjadi satu. Aku pernah mencoba bertanya kepadanya. Hanya saja mas Jo justru mengalihkan topik pembicaraan," aku Mahda.
Dalam hatinya Mahda ingin sekali membenarkan hal itu. Fakta tentang suatu hal yang masih mereka sembunyikan dari Mahda benar-benar membebaninya. Lagipula setelah mendengarkan perkataan Mahda tadi, Syahna yakin bahwa Mahda sudah jauh lebih tegar. Emosinya pun telah kembali stabil. Memang benar, duka akibat kehilangan itu tidak lebih besar ketimbang keimanan yang dimiliki.
"Aku tidak bisa berpendapat banyak, Mahda. Kurasa itu lebih ke arah urusan rumahtanggamu dengan Jauhar. Aku takut akan salah bicara nantinya," kata Syahna menolak untuk berkomentar. Mahda sendiri memicingkan mata melihat tanggapan Syahna.
"Tidak biasanya kamu bertingkah begini, Syahna. Apa ada yang kau sembunyikan juga?" tanya Mahda curiga.
Syahna tersentak mendengar perkataan Mahda.
Apa mungkin ini memang waktunya?
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan vote dan comment supaya Darin tetap semangat menulis ya...
KAMU SEDANG MEMBACA
Persinggahan Hati
Romansa'Jika harus memilih, siapa yang akan kau pilih, Jo?' 'Entahlah, karena Syahna seumpama Khodijah bagiku sedang Mahda layaknya Aisyah. Hanya saja Allah lebih dulu mempertemukanku dengan Aisyah sebelum menyatukanku dengan Khodijah' *** Sampai saat ini...