"Mama... Lihat ponsel Syahna tidak?" tanya Syahna sambil menuruni tangga rumahnya. Setelah berbelanja seharian tadi, kini Syahna, mama Farah, dan juga Sarah tengah menikmati waktu luang bersama. Besok adalah hari Senin dan mereka akan mulai bekerja. Sepertinya besok mama Farah dan juga Sarah akan sibuk mengurusi butik mereka. Rencananya mereka berdua akan lounching beberapa produk baru dalam waktu dekat. Karena Sarah adalah seorang desaigner, maka kesibukannya bertambah beberapa kali lipat. Ia harus memastikan bahwa lounching brand-nya kali ini sukses. Minggu depan rencannaya ia dan mama Farah akan terbang ke Singapura untuk mengikuti acara fashion disana. Acara ini sangat berguna untuk branding produk mereka yang baru."Tidak, Sayang. Seharian tadi sepertinya kamu tidak mengeluarkan ponselmu sama sekali. Saat kita makan di food court pun, kamu sibuk mengganggu kedua keponakanmu. Mama tidak melihatmu bermain ponsel sama sekali," jawab Mama Farah.
"Kalau mbak Sarah, bagaimana? Apa mbak tau keberadaan ponselku?" tanya Syahna lagi.
"Tidak, Syahna. Memangnya terkahir kali kamu menaruhnya dimana?" Sarah balik bertanya.
"Aku tidak ingat. Sepertinya aku membawanya saat kita pergi tadi. Hanya saja seperti yang dikatakan mama, aku memang tidak mengeluarkannya sama sekali," jawab Syahna yakin. "Apa mungkin ponselku terjatuh?" ucap Syahna ragu.
"Bisa jadi. Sudahlah, biar ayah yang membelikanmu ponsel yang baru," sahut dokter Arman.
"Bukan begitu, Ayah. Masalahnya nomer rekan kerja Syahna yang baru ada disana. Syahna tidak menghafalnya. Lalu bagaimana caranya Syahna harus memberikan laporan kepada rumah sakit? Setidaknya Syahna harus mengonfirmasi bahwa kemungkinan Syahna akan berada di Surabaya lebih lama. Syahna ingin mengajukan cuti," balas Syahna.
"Cuti? Kamu yakin, dek? Bukannya kamu baru saja bekerja disana?" tanya Sarah heran.
"Iya, seperti permintaan mama kepada Syahna tadi. Sepertinya Syahna memang harus setuju untuk mengikuti acara fashion mbak Sarah dan mama di Singapura. Bukankah acaranya minggu depan?" tanya Syahna memastikan.
"Ya, acaranya memang minggu depan. Kakak juga berencana untuk ikut pergi kesana," sahut Rahim.
"Ayah rasa momen itu cocok kita gunakan untuk berlibur bersama. Sudah lama pula kita tidak berlibur bersama. Ayah bisa mengosongkan jadwal ayah. Setelah acara fashion itu selesai, kita bisa pergi berlibur ke negara-negara yang lain. Terserah nanti Syahna ingin kemana," timpal dokter Arman.
"Terserah padaku? Kenapa?" tanya Syahna keheranan.
"Karena jarang sekali kamu berada di rumah, Sayang. Momen bersama denganmu adalah momen yang langka bagi kami," terang mama Farah.
Mendengar perkataan mama Farah, Syahna merasa bersalah. Mungkin benar selama ini ia terlalu lama mengasingkan diri dari rumah. Mau tak mau ia harus menyetujui permintaan keluarganya kali ini.
"Baiklah, biar nanti Syahna yang memilih negaranya. Tapi ayah, sebenarnya Syahna ingin melaksanakan umrah, apakah boleh?" pinta Syahna.
"Tentu saja, Nak. Ayah justru senang jika kamu mengusulkan agar keluarga kita bisa melaksanakan umroh bersama. Ayah senang karena dengan begitu kamu akan berada disini lebih lama lagi," kata dokter Arman sambil tersenyum lebar.
Mama Farah pun juga ikut tersenyum sembari merangkul pundak putrinya penuh sayang. "Urus dulu izin cuti ke rumah sakit. Mama ingin seluruh tanggungjawabmu selesai terlebih dahulu," kata mama Farah lembut.
"Tenang saja, biar kakak yang mengatakan tentang izin cutimu ini. Kakak akan menghubungi dokter Jauhar nanti," sahut Rahim.
"Jangan, Kak. Biar Syahna saja. Lagipula izin cuti ini berkaitan dengan rumah sakit, bukan Jauhar. Biar Syahna yang mengurus izinnya sendiri. Oh iya, apa Syahna bisa meminta tolong kepada kakak untuk memintakan nomor Mahda kepada Jauhar? Syahna harus memberitahu Mahda kalau ponsel Syahna hilang dan mungkin kan jarang menghubunginya untyk sementara waktu. Ah, Syahna rasa Syahna memang benar-benar payah dalam hal menghafal nomor telepon. Tidak ada nomor telepon yang Syahna hapal kecuali nomor telepon Syahna sendiri," kata Syahna sambil terkekeh.
"Dasar kamu. Dari dulu kamu tidak pernah menghafal nomor kakak," protes Rahim.
"Jangankan nomor kakak. Nomor mama dan ayah saja Syahna tidak hapal," balas Syahna sambil tertawa.
"Seharusnya kamu menghafalkan nomor seluruh keluarga inti kita, dek. Jangan sampai ada yang tidak kamu hafal. Jika ada sesuatu yang darurat, kamu bisa langsung menghubungi kami. Apalagi selama ini kamu tinggal berjauhan dengan kami," nasehat Rahim.
"Baiklah, jika ada waktu nanti Syahna akan langsung menghafalkan seluruh nomor yang ada di grup keluarga kita," kata Syahna sambil setengah bercanda.
"Kakak serius ya, dek. Kamu selalu bercanda di saat seperti ini. Kakak benar-benar khawatir kepadamu," timpal Rahim.
"Iya, Kak. Syahna berjanji. Lagipula apa sebenarnya yang membuat kakak khawatir? Mama dan ayah saja tidak bersikap seperti kakak. Mama dan ayah mempercayaiku. Lagipula kakak hanya perlu mendoakanku, selebihnya Allah yang akan menjagaku," balas Syahna.
Rahim membuang nafasnya lelah. Adiknya itu memang benar-benar tidak peka dan keras kepala. Lagipula siapa yang tidak akan khawatir jika melihat saudara kandung satu-satunya yang sangat ia sayangi tinggal berjauhan dengannya. Lagipula Syahna adalah seorang perempuan. Dan munculnya fitnah terhadap Syahna belakangan ini membuat Rahim menjadi lebih waspada. Ia menjadi lebih protektif kepada Syahna.
"Mama dan ayah jauh lebih mengkhawatirkanmu daripada kakak. Hanya saja beliau memilih untuk menutupi kekhawatirannya itu. Cobalah kamu mengerti, Syahna," kata Rahim tegas.
"Sabar, mas," bisik Sarah sambil mengusap bahu suaminya.
"Sudah, sudah. Kenapa kalian jadi bertengkar. Ayah tidak ingin melihat kalian bertengkar di momen seperti ini. Apa kalian akan mengisi momen kebersamaan kita yang jarang terjadi ini dengan sebuah perdebatan? Ayah dan mama ingin menciptakan momen hangat di waktu-waktu langka seperti ini," kata dokter Arman menengahi. Ia menatap kedua anaknya itu bergantian dengan sorot penuh kasih sayang. Disampingnya mama Farah duduk sambil mengulas senyum keibuan yang sama.
"Syahna, apa yang dikatakan kakakmu iku memang benar. Ayah dan mama sangat mengkhawatirkanmu. Dulu, ayah mengizinkanmu untuk tinggal di Jakarta dengan dalih menemani umi Rahma karena ayah mendukungmu untuk menyembuhkan lukamu. Bisa jadi dengan melakukan aktivitas yang lain, maka lukamu akan sembuh. Terbukti kamu tetap bisa berdiri tegak. Ayah mempercayaimu karena kamu adalah putri ayah yang begitu tangguh. Makadari itu ayah dan mama berusaha untuk menghargai keputusanmu yang lebih memilih untuk tinggal di Jakarta selama tiga tahun lebih tanpa pernah pulang sama sekali. Tapi sekarang, suasananya berbeda, nak. Ayah, mama, dan juga kakakmu sebenarnya merasa keberatan jika kamu harus tinggal lebih lama di rumah Mahda. Kemarin ayah mengizinkanmu tinggal sementara di Bandung karena kondisi Mahda yang memang tidak memungkinkan, Dan sekarang Mahda sudah baik-baik saja, 'kan? Ayah ingin kamu kembali tinggal disini bersama dengan ayah dan mama. Maaf jika keinginan ayah ini mengecewakanmu, tapi ini memang hal yang kami inginkan, nak. Ayah kurang setuju jika kamu harus bekerja di rumah sakit Jauhar. Ayah hanya ingin melihat seluruh anak ayah berada di dekat ayah," ungkap dokter Arman.
Mendengar ungkapan dokter Arman, Syahna menunduk sedih. Selama ini Syahna berfikir bahwa kedua orantuanya merestuinya. Siapa sangka jika dibalik hal itu, kedua orangtuanya justru merasa keberatan. Jika sudah begini akan sangat sulit bagi Syahna untuk kembali ke Bandung. Lalu, bagaimana janjinya terhadap Mahda? Ia berjanji akan segera kembali secepatnya ke rumah Mahda. Apa kali ini ia harus benar-benar melanggar janjinya kepada Mahda?
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan vote dan comment supaya Darin tetap semangat menulis ya...

KAMU SEDANG MEMBACA
Persinggahan Hati
रोमांस'Jika harus memilih, siapa yang akan kau pilih, Jo?' 'Entahlah, karena Syahna seumpama Khodijah bagiku sedang Mahda layaknya Aisyah. Hanya saja Allah lebih dulu mempertemukanku dengan Aisyah sebelum menyatukanku dengan Khodijah' *** Sampai saat ini...