Permintaan Hamid ar Rayyan

18 2 0
                                    


Hari ini adalah hari pertama Mahda memulai aktivitas barunya sebagai pengajar di salah satu taman kanak-kanak. Nama taman kanak-kanak iku adalah TK Kasih Bunda. Letaknya sendiri tak jauh dari rumah sakita ar Rayyan. Dikarenakan semalam Jauhar harus menginap di rumah kakeknya, maka hari pertama Mahda bekerja akan diantarkan oleh Syahna.

Tepat pukul tujuh pagi mobil Syahna mulai membelah jalanan Bandung yang padat. Semenjak beberapa minggu yang lalu orangtuanya memang telah mengirimkan mobil Syahna ke rumah Jauhar sehingga untuk akses bepergiannya, Syahna tak lagi mengalami kesulitan.

"Jam berapa kamu selesai mengajar, Mahda?" tanya Syahna memecah kesunyian.Sedari tadi perjalanan mereka hanya diisi oleh suara-suara bising yang berasal dari luar.

"Mungkin sekitar pukul 12.00 siang aku sudah bisa pulang. Kamu tenang saja, aku akan meminta pak Rusli yang menjemputku nanti. Jadi kamu tidak perlu repot-repot mengantarkanku pulang, Syahna," tukas Mahda.

"Apa kamu tidak ingin makan siang terlebih dahulu bersamaku? Aku akan menjemputmu ke sekolah. Setelah makan siang nanti kamu bisa meminta pak Rusli untuk menjemputmu. Kebetulan ada menu kuliner enak yang ingin kumakan. Karena siang nanti aku juga tidak memiliki jadwal praktek, kurasa aku bisa kembali ke rumah sakit sedikit telat," kata Syahna.

"Boleh saja. Apa mas Jo juga ada di rumah sakit? Kurasa kita bisa makan bertiga nantinya," usul Mahda.

"Eh, kenapa harus dengan Jauhar, Mahda? Kamu tahu aku masih sering merasa canggung dengan Jauhar. Lebih baik kita makan berdua saja. Lagipula bukannya Jauhar lebih sering berada di luar rumah sakit sekarang?" tolak Syahna beralasan.

"Syahna, bukankah kita juga sudah terbiasa makan bertiga di rumah? Seharusnya kamu tak perlu lagi bersikap canggung. Dan untuk hari ini feeling ku mengatakan kalau mas Jo akan berada di rumah sakit siang nanti." kata Mahda yakin.

"Kalau begitu lain kali saja kita makan siang bersama di luar. Jujur saja Mahda, aku merasa tidak nyaman," tolak Syahna lagi.

"Ya sudah, kalau kamu memang tidak mau, aku tidak akan memaksamu. Kurasa aku juga ingin langsung pulang ke rumah nanti. Karena ini hari pertamaku mengajar, mungkin saja aku akan sangat merasa lelah. Jadi lebih baik kita memang menunda waktu makan kita," usul Mahda.

Setelah percakapan itu, perjalanan mereka kembali diisi dengan keheningan. Syahna sendiri memilih untuk mencari jalan-jalan tikus agar bisa segera sampai di sekolah Mahda. Ia tidak ingin membuat sahabatnya itu terlambat masuk di hari pertamanya bekerja.

"Kabari aku jika kamu sudah sampai di rumah nanti ya. Kalau ada apa-apa kamu juga harus langsung menghubungiku. Semangat untuk hari pertamanya, Mahda," kata Syahna memberi semangat. Sedari dulu Syahna memang sangat protektif kepada Mahda.

Mahda tertawa mendengar rentetan perkataan Mahda. " Aku akan baik-baik saja, Mahda. Kamu tidak perlu khawatir. Aku juga akan menghubungimu nanti jika sudah sampai di rumah. Terkadang aku gemas sekali saat melihatmu dan mas Jo begitu protektif kepadaku," kata Mahda.

"Itu sudah pasti akan kulakukan, Mahda. Aku bersikap begini karena aku begitu menyayangimu. Lagipula Jauhar pasti akan bersikap jauh lebih protektif dari ini," sangkal Syahna.

"Baiklah, sampai jumpa, Syahna.." Mahda segera masuk ke dalam gerbang sekolahnya karena memang sebentar lagi bel masuk akan berbunyi. Syahna sendiri melambaikan tangannya sebelum beranjak meninggalkan gedung sekolah TK yang terlihat sederhana itu.

****

"Jauhar, kamu harus mempertimbangkan perkataan kakek. Mau bagaimanapun juga ada tanggungjawab besar yang harus kamu pikul," kata tuan Hamid ar Rayyan tegas.

"Apa yang harus Jauhar pertimbangkan, kek? Kakek tahu bahwa aku sangat mencintai Mahda. Aku tidak bisa menyakitinya," kata Jauhar tak kalah tegas.

"Kakek hanya memintamu untuk segera mengadopsi anak, bukan menyuruhmu untuk menikah lagi. Dari sisi mana kakek berniat untuk menyakiti, Mahda?" kata tuan Hamid ar Rayyan tidak terima.

Sedari semalam pembicaraan mengenai anak angkat ini memang menjadikan Jauhar dan tuan Hamid ar Rayyan bersitegang. Jauhar langsung menolak dengan keras usulan tuan Hamid ar Rayyan yang memintanya untuk mengadopsi seorang anak, utamanya seorang anak yang masih berkerabat dengan mereka. Mau bagaimanapun juga bisnis mereka memang membutuhkan adanya seorang pewaris. Dan melihat kondisi Mahda saat ini, tuan Hamid ar Rayyan berusaha untuk memahaminya. Ia tidak akan memaksa Jauhar untuk menikah lagi ataupun sebagainya. Ia juga tidak menuntut seorang pewaris yang harus berasal dari keturunannya. Baginya cukup dengan adanya sosok seorang pewaris, sekalipun mungkin saja itu bukan berasal dari garis keturunanya. Setidaknya jika Jauhar mau mengadopsi anak, anak yang akan menjadi calon pewarisnya itu adalah anak yang tumbuh dalam didikan Jauhar.

"Aku tidak bisa melakukannya, kek. Entahlah, apakah suatu saat aku memang akan melakukannya. Yang jelas tidak untuk waktu dekat ini. Kami berdua masih sangat berduka atas meninggalnya Zidan dan Zana. Bagaimana bisa kakek mengusulkan untuk mengadopsi anak padahal ini baru berjarak tiga bulan dari kematian Zidan," kata Jauhar tak habis piker dengan ide kakeknya perihal mengadopsi anak.

"Jauhar, maafkan kakek jika keinginan kakek ini menyakitimu. Sejujurnya kakek tidak berniat menyakitimu, hanya saja di usia kakek yang semakin senja ini, kakek juga menginginkan untuk membesarkan seorang cicit lagi. Setidaknya akan ada tawa-tawa anak kecil yang meramaikan hari-hari terakhir kakek. Kakek ingin cicit kakek mengenal kakek agar nantinya ada yang mendoakan kakek saat kakek telah wafat," ungkap tuan Hamid ar Rayyan jujur.

"Kakek.. mengapa kakek harus berbicara begitu? Apa kakek tidak ingin menemani Jauhar? Lagipula belum tentu kakek yang akan pergi duluan. Bisa saja Jauhar yang akan pergi lebih dulu nantinya. Jauhar yakin kakek akan panjang umur. Jangan menyinggung tentang kematian. Jauhar tidak ingin mendengarnya," tolak Jauhar. Secara tidak langsung, dari banyaknya kehilangan yang telah ia alami, Jauhar sendiri memiliki rasa trauma. Apalagi setelah kehilangan kedua buah hatinya.

"Jauhar.. kakek sangat berharap agar kakek selalu bisa mendampingi cucu kakek. Kamu adalah cucu kakek satu-satunya. Kamu juga keluarga satu-satunya yang kakek miliki selain kerabat-kerabat jauh kita tentunya. Kakek tidak berniat menakutimu, Jauhar. Kakek hanya mengatakan hal yang sebenarnya. Saat ini usia kakek sudah hampir mencapai 70 tahun. Fisik kakek tak lagi kuat. Beberapa penyakit-penyakit tua juga sudah mulai sering kakek rasakan. Seluruh usaha dan bisnis kakek kini juga telah beralih kepadamu. Kakek hanya ingin menyadarkanmu tentang hal itu. Salah satu keinginan terbesar kakek saat ini adalah melihatmu bahagia. Kakek tahu bahwa kamu sangat mengingkan kehadiran seorang anak. Kakek tidak akan memaksamu untuk menikah lagi karena hal itu mungkin saja tidak akan pernah kamu lakukan mengingat begitu cintanya dirimu kepada Mahda. Makadari itu kakek hanya memintamu untuk segera mendiskusikan perihal adopsi anak kepada Mahda," kata tuan Hamid ar Rayyan panjang lebar.

Jauhar mendesah lelah. Akan sangat sulit untuk mengatakan hal itu kepada Mahda. Saat ini, Jauhar merasa kondisinya masih sangat rawan untuk membahs hal-hal sensitive seperti adopsi. Tapi setidaknya hal ini jauh lebih baik ketimbang usulan untuk menikah lagi.

Jauhar kembali teringat pembicaraan terakhirnya dengan beberapa kerabatnya. Beberapa dari mereka banyak yang mengusulkan keoada Jauhar untuk menikah lagi setelah megetahui kondisi rahim Mahda. Tentu saja Jauhar menolak. Lagipula masih ada alternatif lain bagi mereka untuk memiliki anak. Definisi anak sendiri sangatlah banyak. Bukankah seorang anak tidak harus berasal dari rahim Mahda ataupu DNA nya?

Setelah menimbang-nimbang, akhirnya Jauhar memilih untuk mengiyakan saja perkataan . tuan Hamid ar Rayyan. Setidaknya dengan mengiyakannya, saat ini ia bisa terbebas dari desakan kakeknya.



Jangan lupa tinggalkan jejak dengan vote dan comment supaya Darin tetap semangat menulis ya...

Persinggahan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang