Fitnah untuk Syahna

24 2 0
                                    


Di dalam ruang keluarga kediaman dokter Arman nampak dokter Arman dan istrinya juga putra dan menantunya tengah duduk melingkar. Ekspresi mereka terlihat tegang. Sesekali terdengar sisa isak tangis dari mama Farah, istri dokter Arman. Segera saja dokter Arman mengusap bahu istrinya lembut. Beberapa kali juga ia terlihat mengecup pucuk kepala mama Farah dan membisikkan kata-kata penghiburan untuk istrinya.

Di depannya Rahim dan juga Sarah hanya bisa menunduk diam. Sarah menggenggam tangan suaminya erat. Sebisa mungkin Sarah mencoba menenangkan Rahim agar tidak kembali terpancing emosi.

"Rahim tidak bisa diam saja, ayah. Secepatnya Rahim akan menjemput Syahna dan membawanya kembali ke rumah ini," kata Rahim lantang.

"Sabar mas.. Jangan terbawa emosi," Sarah menepuk-nepuk bahu Rahim berharap suaminya itu bisa sedikit menegendalikan emosinya.

"Aku marah, sayang. Aku tidak terima jika ada yang berkata buruk tentang adikku," timpal Rahim lagi.

Dokter Arman sendiri hanya diam tanpa berniat untuk menenangkan putranya. Tangannya masih sibuk mengelus kepala istrinya yang menangis di pelukannya. Sebisa mungkin dokter Arman berusaha untuk menetralkan emosinya sendiri. Setidaknya ia harus bisa menjadi pihak yang paling tenang diantara istri dan anaknya. Jika sampai ia juga ikut emosi, bisa dipastikan putranya akan bertindak lebih jauh lagi.

***

Tidak berselang lama dari pertemuan Rahim dengan Jauhar di Bandung, Rahim mendapati mamanya pulang ke rumah dalam keadaan menangis. Istrinya, Sarah yang kebetulan pergi dengan mamanya hanya menggelengkan kepala saat ditanya perihal apa yang membuat ibu mertuanya yang begitu sabar itu sampai menangis tersedu-sedu.

Semula mama Farah enggan memberi tahu apa penyebabnya. Seluruh anggota keluarga Syahna itu menjadi bingung dibuatnya. Dokter Arman yang tidak menahu perihal kondisi istrinya yang terus-menerus menangis di dalam kamarnya menjadi ikut bingung. Saat ditanya kenapa, mama Farah hanya akan menggelengkan kepala.

Malamnya mama Farah tertidur setelah cukup lama menangis. Dokter Arman yang duduk di sebelah istrinya mendengar igauan istrinya yang menyebut nama Syahna. Tanpa pikir panjang lagi dokter Arman segera memanggil putranya dan menyuruhnya untuk mencari tahu apa penyebab istrinya menangis. Apa ada kaitannya dengan putri bungsunya? Apa tanpa sengaja putri bungsunya itu telah menyakiti hati ibunya?

Jadilah malam itu juga Rahim mewawancarai istrinya habis-habisan. Sarah sendiri tetap keukeh dengan pendiriannya bahwa ia tidak tahu menahu tentang apa penyebab tangisan ibu mertuanya. Sarah hanya menyebutkan bahwa terakhir kali mereka bertemu dengan rekan istri sesama dokter seangkatan dengan dokter Arman. Karena ibu mertuanya mengenal dengan baik istri dokter tersebut, maka mereka memutuskan untuk makan bersama dan setelah itu berbincang-bincang bersama. Sarah sempat meminta izin ke kamar mandi di tengah percakapan mereka dan saat Sarah kembali ia sudah menemukan mata ibu mertuanya yang memerah dan rekan ibunya tadi sudah tidak berada disana. Setelah itu mama Farah buru-buru mengajak Sarah pulang. Di sepanjang jalan menuju rumah, Sarah mendapati ibu mertuanya menangis. Saat itu Sarah sudah mencoba bertanya ada apa gerangan. Sayangnya mama Farah enggan memberitahu Sarah.

"Jadi kamu benar-benar tidak tahu siapa nama orang yang ditemui, mama?" tanya Rahim kepada Sarah untuk kesekian kalinya.

"Aku benar-benar tidak tahu, mas. Lebih tepatnya aku lupa," aku Sarah jujur.

"Sepertinya mama mendengar beberapa perkataan yang tidak baik mengenai Syahna," ucap Rahim kala itu. "Beberapa hari yang lalu aku sempat berdiskusi dengan ayah mengenai keberadaan Syahna di rumah dokter Jauhar. Awalnya kami hanya ingin meminta Syahna pergi dari sana karena dokter Jauhar dan Syahna tidak ada ikatan mahrom. Sekalipun yang menjadi penyebab keberadaan Syahna disana adalah Mahda, rasanya hal itu tetaplah tidak pantas. Lagipula kondisi Mahda sendiri sudah jauh lebih baik. Makadari itu saat aku pergi ke Bandung aku memutuskan untuk meminta Syahna agar segera pindah ke apartemen daripada harus serumah dengan dokter Jauhar. Saat itu aku mengajak Syahna untuk menemui dokter Jauhar. Kami menyampaikan rencana kepindahan Syahna dan dokter Jauhar berjanji akan membantu Syahna meminta izin kepada Mahda. Tapi sampai sekarang memang belum ada informasi lain, baik dari dokter Jauhar ataupun Syahna," terang Rahim.

"Entah bagaimana caranya muncul pembicaraan yang tidak baik tentang Syahna. Aku baru mengetahuinya kemarin. Ada yang menyebut Syahna sebagai wanita yang tidak benar karena hubungannya dengan dokter Jauhar. Padahal selama ini kita semua tahu tidak ada hubungan apapun diantara Syahna dan dokter Jauhar. Syahna hanya akan berhubungan dengan dokter Jauhar jika itu menyangkut Mahda. Saat bertemu denganku kemarin, Syahna sempat mengatakan bahwa ia masih merasa canggung dengan dokter Jauhar. Ia mengaku jarang sekali berinteraksi ataupun berbicara dengan dokter Jauhar."

"Padahal hampir semua dokter dan karyawan di rumah sakit tempat Syahna itu tidak ada yang tahu bahwa saat ini Syahna tinggal menumpang di rumah dokter Jauhar. Walaupun begitu mereka semua malah berani mengatakan hal-hal yang tidak-tidak tentang Syahna hanya karena Syahna bisa masuk dan bekerja di rumah sakit milik dokter Jauhar dengan begitu mudah, padahal kita semua juga tahu bahwa rumah sakit tersebut merupakan rumah sakit swasta terfavorit di Bandung dan seleksi masuk dokter ataupun karyawan kesana sangatlah sulit. Aku tidak habis pikir mengapa mereka semua bisa mengatakan hal-hal semacam itu kepada Syahna. Jika begini akhirnya, sedari awal aku tidak akan mengizinkan Syahna untuk bekerja di rumah sakit milik dokte Jauhar."

***

"Rahim, tolong kau bujuk adikmu untuk pulang," putus dokter Arman. "Ayah tidak ingin ada perkataan yang lebih buruk lagi tentan Syahna. Sudah banyak rekan sesama dokter ayah yang membicarakannya. Ayah tidak rela jika putri ayah mendapat perkataan yang tidak-tidak. Lihatlah kondisi mamamu yang setiap hari menangisi adikmu."

"Rahim akan berangkat ke Bandung dan menjemput Syahna, ayah. Rahim sendiri tidak rela jika adik rahim dibicarakan dengan sebegitu hinanya. Syahna adalah wanita terhormat. Ia tidak pantas menerima semua perkataan buruk iku. Mungkin selama ini Syahna terlalu cuek sampai tidak sadar bahwa orang-orang di sekitarnya membicarakannya sedemekian rupa. Rahim akan melindungi Syahna agar tidak sampai mendengar dan tersakiti dengan omongan tidak berdasar yang diberikan oleh orang-orang disekitarnya," kata Rahim yakin. Secepatnya ia akan menjemput Syahna ke Bandung.

Setelah berulang kali membujuk istrinya, akhirnya dokter Arman mengetahui bahwa siang itu di restoran, istri rekan sesama dokternya berkata kepada istrinya bahwa Syahna sengaja mendekati Jauhar agar bisa menjadi istri dokter Jauhar. Keadaan istri dokter Jauhar yang tengah sakit dan memiliki masalah di rahimnya memang sudah tersebar luas di kalangan sesama dokter. Posisi keluarga Jauhar yang memang berasal dari kalangan elite juga banyak prestasi yang dimiliki oleh Jauhar di bidang kedokteran menjadikannya begitu terkenal di kalangan dokter. Belum lagi nama besar Hamid ar Rayyan yang berstatus sebagai kakek kandung Jauhar. Entah siapa yang pertama kali menyebarkannya. Untung saja mereka semua tidak tahu bahwa fakta sebenarnya yang terjadi kepada Mahda adalah kondisi rahimnya yang memang telah diangkat.

"Maafkan saya ibu Arman, saya turut prihatin atas semua kabar buruk yang menerpa putri anda. Saya rasa sedari dulu banyak sekali kemalangan yang menimpa dirinya," kata rekan mama Farah kala itu saat Sarah tengah izin ke toilet.

"Apa maksud anda? Memangnya ada apa dengan putri saya?" tanya mama Farah berang.

"Ibu Arman tidak perlu menutupinya lagi. Semua rekan dokter juga sudah tahu kalau putri ibu tengah berniat untuk menggantikan posisi istri dokter Jauhar yang baru saja mengalami kecelakaan. Putri ibu pasti sengaja mendekati dokter Jauhar agar bisa masuk dalam keluarga besar Hamid ar Rayyan. Siapa juga yang tidak mau menjadi cucu menantu tuan Hamid ar Rayyan yang kaya raya itu," jawab wanita itu sok tau.

Mama Farah semakin geram dibuatnya. Sekalipun hatinya sakit mendengar cercaan kepada putrinya, ia tetap berjuang keras untuk menutupinya. "Jaga mulut ibu. Putri saya adalah wanita terhormat. Dia tidak akan mungkin mempunyai niat sehina itu. Lebih baik ibu menghentika perkataan ibu yang memfitnah putri saya," bela mama Farah.

"Terserah ibu saja. Saya hanya menyampaikan apa yang saya dengar dari orang-orang saja."

Setelah itu rekan dokter mama Farah pergi meninggalkan mama Farah seorang diri yang mati-matian menahan tangis. Ia tidak bisa menahan sakit hatinya karena mendengar celaan kepada putri bungsunya.



Jangan lupa tinggalkan jejak dengan vote dan comment supaya Darin tetap semangat menulis ya...

Persinggahan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang