Desakan untuk Syahna

58 3 0
                                    

Syahna membuka matanya saat terdengar suara ketukan yang berulang di pintu kamarnya. Sayup-sayup Syahna bisa mendengar suara Mama Farah yang meneriakinya dari depan kamar. Syahna mengerjap-ngerjapkan matanya dan mencoba untuk mengumpulkan kesadarannya. Kepalanya masih terasa sedikit sakit, tetapi tubunya terasa segar. Sepertinya sakit kepala ini muncul karena pikirannya yang terlalu rumit akhir-akhir ini.

Karena ketukan di pintu kamarnya semakin keras dan yang terdengar bukan hanya suara mamanya saja, buru-buru Syahna memutuskan untuk bangkit dari tidurnya.

"Sebentar, Ma ..." teriaknya sambil bergegas menuruni kasur.

"Darimana saja kamu, Syahna? Ini sudah jam setengah enam. Kita harus segera pergi ke Bandara karena pesawat kita akan take off jam tujuh pagi," kata Mama Farah saat pintu kamar Syahna terbuka.

"Maaf, Ma. Syahna tertidur," jawab Syahna beralasan. Ia memilih untuk berbohong karena jika ia mengatakan bahwa ia baru saja bangun pastinya semua orang akan bertanya-tanya. Sedari dulu Syahna memang terbiasa bangun pagi. Syahna selalu rutin bangung jam tiga pagi dan tidak akan kembali tidur. Lagipula ia tidak ingin membuat keluarganya khawatir dengan menceritakan apa yang terjadi dengannya semalam. Baginya sakit kepala yang ia rasakan tak lebih hanyalah efek yang harus ia alami karena banyaknya hal yang harus ia pikirkan.

"Cepat ganti baju, ya, Sayang. Mana barang-barangmu? Cepat taruh di depan pintu kamarmu! Biar nanti Pak Yahya yang membawanya turun. Cepatlah ganti. Sebentar lagi kita berangkat," kata Mama Farah memberi perintah.

"Baik, Mama. Maaf ya karena Syahna belum bersiap. Semalam Syahna kesulitan tidur," aku Syahna.

"Iya, Sayang. Tidak apa-apa," balas Mama Farah sambil mengelus kepala Syahna penuh sayang. "Mama pergi dulu, ya."

Sepeninggalan Mama Farah. Syahna segera menaruh barang-barangnya di depan pintu kamar dan segera bersiap-siap. Tak butuh waktu lama bagi Syahna untuk bersiap karena memang ia termasuk golongan orang yang tidak suka berada terlalu lama di kamar mandi. Baginya melakukan ritual mandi yang lama akan sangat membuang waktunya yang berharga.

Karena anggota keluarga yang lain telah siap, saat Syahna turun dari kamarnya mereka langsung berangkat menuju bandara. Dalam perjalanan menuju bandara, Syahna menyempatkan untuk mengirim pesan terakhir kepada Mahda. Dia mengabarkan bahwa dia akan berangkat. Mau dipaksa bagaimanapun juga, nyatanya Syahna tidak akan pernah bisa mengabaikan Mahda begitu saja.

Lagi-lagi saat Syahna hendak menyimpan ponselnya, ia mendapat notifikasi pesan dari Dokter Alif. Dokter Alif mengatakan ingin bertemu dengannya karena ada agenda yang harus ia lakukan di Surabaya. Karena malas menanggapi, Syahna lebih memilih untuk mengabaikan pesan itu. Toh, sebentar lagi ia akan menonaktifkan ponselnya untuk waktu yang cukup lama. Berbalas pesan dengan Dokter Alif hanya akan membuat obrolan mereka semakin panjang. Untuk kali ini Syahna benar-benar ingin membatasi interkasinya dengan orang lain.

"Syahna, saat berada di Singapura nanti, mbak minta tolong kamu fokus kepada kedua keponakanmu, ya. Saat disana mbak akan sangat sibuk. Mbak akan mengunjungi beberapa tempat untuk mengurus detail acaranya. Kemungkinan mas Rahim akan menemani mbak nantinya. Mbak titipkan dua keponakanmu itu, ya," pinta Sarah. Saat ini mereka memang berada dalam satu mobil yang sama dan duduk bersebelahan. Rombongan keluarga mereka memang berangkat dengan dua mobil. Rahim, Dokter Arman, Mama Farah, dan anak-anak telah berangkat terlebih dahulu dengan membawa sebagian besar barang bawaan mereka. Sedang Sarah dan Syahna harus berangkat lebih akhir karena harus terlebih dahulu mampir ke butik Sarah dan mengambil beberapa barang. Untung letak butik Sarah itu tidak terlalu jauh dari bandara, sehingga mereka tidak perlu membutuhkan waktu yang lama untuk melakukan perjalanan itu.

"Iya, Mbak Sarah. Syahna akan fokus menjaga Raka dan Clara. Karena kedua anak mbak itu sangat aktif, Syahna akan mengeluarkan tenaga ekstra untuk memastikan kenyamanan dua bocah menggemaskan itu, Lagipula Syahna juga sudah berniat untuk mematikan ponsel Syahna. Jadi mbak tidak perlu khawatir, ya. Pasrahkan saja keduanya pada adikmu yang cantik ini," jawab Syahna sambil menepuk-nepuk dadanya. Tiba-tiba saja ia terbayang tingkah-tingkah menggemaskan kedua keponakannya yang hanya berselisih satu tahun itu.

Sarah tertawa melihat tingkah Syahna. "Iya, mbak percaya kamu memang sangat bisa diandalkan. Ngomong-ngomong, berapa lama kamu mendapat cuti dari rumah sakit? Bukannya kamu pegawai baru, ya? Semudah itu kamu memperoleh izin?" tanya Sarah penasaran.

Syahna menghela nafasnya. "Umumya pegawai biasa tidak akan bisa mendapatkan privillage seperti ini, Mbak. Aku yakin, segala kemudahan yang kuteriam ini pasti atas campur tangan Jauhar. Aku merasa tidak enak sekali pada Jauhar, Mbak. Selama ini ia sudah banyak membantu karirku hanya karena merasa berhutang budi kepadaku perihal Mahda. Alasan macam apa itu. Padahal aku ikhlas sekali jika memang harus melakukannhya demi Mahda. Mau bagaimanapun juga Mahda adalah sahabat karibku, Mbak. Aku sangat menyayanginya," balas Syahna.

"Dokter Jauhar memang sebaik itu, ya. Mbak kira dia adalah lelaki yang dingin," timpal Sarah.

"Sebenarnya Jauhar itu baik, Mbak. Sifatnya memang dingin, tetapi ia akan sangat lembut saat berhadapan dengan Mahda. Ah, saat berbicara dengan Umi Rahma, Jauhar juga akan bersikap lembut," balas Syahna.

"Dia bersikap baik kepadamu, 'kan? Maksudku dia tidak berkata kasar kepadamu, 'kan? Sekalipun dia merasa berutang budi kepadamu, tidak menutup kemungkinan dia bisa berprilaku buruk, 'kan?" tanya Sarah lagi. Ia ingin memastikan kalau selama ini Syahna memamg diperlakukan dengan baik oleh Jauhar.

"Tidak, Mbak. 'Kan aku sudah bilang, Jauhar itu sebenarnya adalah pria yang lembut. Dia tidak akan bisa menyakiti wanita. Dia juga tidak bisa berbicara kasar. Sifatnya memang cenderung dingin. Cara bicaranya juga begitu. Tetapi tetap saja, dia adalah lelaki yang baik. Mbak Sarah tidak perlu khawatir. Selama ini Syahna tidak pernah diperlakukan buruk oleh Jauhar," kata Syahna menyakinkan Sarah. Sebenarnya Syahna tahu kenapa sedari tadi Sarah berulang kali bertanya tentang prilaku Jauhar. Bagi orang yang jarang berinteraksi dengan Jauhar, pasti akan salah paham. Wajahnya yang dingin juga sifatnya yang cenderung cuek seringkali membuat orang salah paham.

Di rumah sakit ar Rayyan saja semua orang begitu segan kepada Jauhar. Di samping kedudukannya yang tinggi, Jauhar juga memiliki aura yang mendominasi. Siapapun lawan bicaranya akan merasa segan padanya, Jauhar memiliki karisma yang begitu kuat. Kecerdasan dan juga ketegasannya terlihat dari sikap dan caranya berbicara.

"Baiklah, jika memang begitu setidaknya mbak bisa merasa tenang. Bagaimanapun juga mbak tidak ingin melihatmu kesulitan. Mbak saja merasa tertekan saat harus berbicara dengan Jauhar. Saat menginap di rumah Mahda kemarin 'kan mbak sempat beberapa kali harus berbicara dengan Jauhar. Huh, cuek sekali dia," gerutu Sarah.

"Kalau bukan karena Mahda, sepertinya aku juga akan malas berinterkasi dengannya. Yah, mau dikatakan sebaik apapun juga, kenyataannya Jauhar memang begitu," timpal Syahna menyetujui perkataan Sarah.

"Mbak itu khawatir padamu, Syahna. Tidak bisakah kamu menetap di Surabaya saja? Mau sebagus apapun karirmu di rumah sakit ar Rayyan nanti, bukankah tetap lebih nyaman jika berdekatan dengan keluargamu?"

Syahna mendesah. Nampaknya desakan untuk kepindahannya ke Surabaya akan terus dilakukan oleh seluruh anggota keluarganya. Mau tak mau ia memang harus mempersiapkan dirinya jika masih ingin tinggal di Bandung. Setidaknya Syahna harus memiliki argumen yang kuat untuk mempertahankan alibinya supaya tetap bisa menetap di rumah Mahda. Mau bagaimanapun juga ia masih merasa berat untuk meninggalkan Mahda.

"Aku baik-baik saja, Mbak. Kenapa mbak harus khawatir? Sudahlah, doakan saja adikmu ini. Syahna yakin doa dari Mbak Sarah akan langsung dikabulkan oleh Allah. Mana mungkin Allah menolak doa istri solehah seperti mbak," jawab Syahna setengah bercanda.

"Ih, Syahna. Serius, dong! Kamu ini selalu saja bercanda saat semua orang mengkhawatirkanmu," omel Sarah.

Syahna hanya tertawa menanggapi perkataan Sarah. Tidak apa-apa sekalipun Sarah menganggapnya bercanda. Setidaknya kali ini ia terbebas dari kewajiban untuk menyakinkan kakak iparnya itu.



Jangan lupa tinggalkan jejak dengan vote dan comment supaya Darin tetap semangat menulis ya...

Persinggahan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang