Pukul setengah sepuluh malam dan Almiera baru sampai di rumahnya. Hujan mengguyur Jakarta sejak pukul lima sore membuat jalanan macet parah, walhasil dia terlambat sampai kerumah. Padahal Shanon memintanya membelikan donat yang dia sukai dari kedai francise terkenal.
Dengan berlari-lari kecil Almira masuk kerumah dan segera membersihkan dirinya di kamar mandi bawah sebelum naik ke atas. Dia menyambangi kamar Shanon dan gadis kecil yang mulai beranjak remaja itu tampak sudah meringkuk di balik selimutnya.
Almiera membeku di ambang pintu dengan sekotak donat pesanan Shanon yang terpaksa dia simpan kedalam kulkas.
Setelah menyimpan donat itu, Almiera kembali ke lantai dua dan langsung masuk ke dalam kamarnya. Sudah barang tentu tidak ada Panji di sana karena mobil suaminya itu juga belum tampak bertengger di garasi.
Almira hanya menatap sekilas ke arah ranjang kemudian berjalan ke kamar mandi setelah mengambil handuk kering dari dalam lemarinya.
Membasahi dirinya dengan derasnya air shower hangat akan sedikit membantu mengendorkan otot-ototnya yang tegang seharian, mungkin juga membasuh pikiran keruh dalam kepalanya.
Entah mengapa sebuah perasaan menyeruak keluar dari dalam hatinya dalam bentuk bulir-bulir air mata yang hanyut tersapu derasnya air pancuran. Tampaknya wanita itu menangis dalam diamnya di sana, tanpa ada orang yang tahu.
Setelah mandi, Almiera mengenakan piyama tidurnya dan kembali ke kamar Shanon. Dengan rambut setengah basah dia masuk ke kamar puterinya itu dan merapikan selimut Shanon. Tidak hanya memberikan kecupan selamat malam seperti yang acap kali dia lakukan, kali ini Almiera memilih untuk meringkuk di samping puterinya itu dan memeluknya erat.
Air matanya tumpah diam-diam. Dia benar-benar merasa begitu berdosa, meninggalkan Shanon lebih dari lima belas jam hampir setiap hari untuk bekerja. Bukan pilihannya sebetulnya, tapi kondisi perekonomian mereka yang tidak stabil karena pekerjaan Panji yang tidak tentu penghasilannya membuat Almiera berjuang untuk ikut membantu mendulang rupiah demi keluarga kecilnya.
Cicilan mobil, cicilan rumah, membangun studio dan membeli semua peralatan foto yang harganya tidak murah memaksanya mengingkari naluri keibuannya.
Tak jarang dia datang diam-diam ke kamar puterinya itu dan memeluknya dalam derai air mata. Pertumbuhan Shanon yang begitu cepat terkadang membuatnya tercengang-cengang seolah dia tidak setiap hari ada.
Memang tinggal dalam satu atap tidak selalu menjamin kedekatan secara emosional, apalagi Almiera hanya memiliki waktu bertemu dan berbicara dengan Shanon di pagi hari sebelum dia berangkat sekolah.
Meski begitu, Almiera selalu bersyukur karena Shanon tumbuh menjadi gadis yang mandiri dan cerdas. Dia selalu membanggakan meski tak selalu mendapatkan pendampingan yang mencukupi ketika belajar di rumah.
***
Menjelang tengah malam Almiera mendengar suara deru mesin mobil, tampaknya itu Panji. Almiera melirik ke arah jam dinding yang tergantung di kamar Shanon, 01.30 pagi.
Bukan tengah malam lagi, kali ini Panji bahkan pulang ke rumah menjelang subuh. Almiera kembali memejamkan matanya, menyusul Panji ke kamar dengan pertanyaan "Kok Pulang malam lagi, ngapain aja?" hanya akan membuatnya semakin terluka.
Diam, itu yang menjadi keputusan Almiera. Apapun yang Panji lakukan, dia sudah berjanji untuk tidak menghiraukannya. Berpura-pura menjadi keluarga harmonis di depan Shanon akan jadi pilihan terbaik saat ini mengingat puterinya itu adalah gadis yang beranjak dewasa, dia sedang sibuk mencari jatidirinya. Almiera tidak ingin goncangnya rumahtangga yang dia bangun bersama Panji akan menorehkan sejarah pahit dalam kehidupan puterinya.
==========================================
Nunggu banyak Vote / Bintang dan juga komentar ntuk up ke chapter selanjutnya ya. jadi jangan lupa tinggalkan jejak kalian. Terimakasih yang udah support dan baca cerita tentang Almiera.
KAMU SEDANG MEMBACA
Almiera
RomanceKisah tentang seorang wanita yang sudah berumahtangga selama duabelas tahun, tapi kemudian tiba-tiba di tinggalkan begitu saja oleh suaminya karena wanita lain. Perceraian tidak bisa di hindarkan lagi, dengan berpegang pada tanggungjawabnya untuk me...