Almiera baru saja hendak merebahan tubuhnya dan menikmati istirahat malam setelah melewati hari yang panjang dan melelahkan. Tapi justru dia harus dikejutkan dengan suara gaduh dari luar rumah. Seperti sedang terjadi adu mulut meski tidak terlalu dekat jaraknya.
Almirea beringsut turun dari tempatnya berbaring dan berjalan menuju balkon untuk melihat siapa yang bertengkar selarut ini. Betapa terkejutnya ketika Ryan sedang baku hantam dengan Panji di dekat area parkir mobil.
Almiera segera berlari masuk ke dalam kamar dan berlari menuruni anak tangga. Dia segera membuka pintu dan menghentikan perkelahian itu, tapi nyatanya sudah terlambat. Ryan yang memang bertubuh lebih berotot dari Panji berhasil membuat bonyok wajah Panji.
"Stop!" Almiera melerai keduanya. Untung saja pertengkaran keduanya tak sampai menimbulkan kegaduhan yang mengganggu tetangga, Shanon bahkan juga tak tampak bangun. Hanya Bi Sum yang terbangun dan menyusul Almiera.
"Ryan . . .lepasin Panji!" Tegas Almiera, tapi Ryan tampak tak menggubris, dengan tatapan penuh amarah Ryan masih memegangi kerah kemeja Panji dan bersiap melemparkan bogem mentahnya sekali lagi.
"Ryan, please." Almiera berusaha melunak. "Ryan, kalau lo datang dan bikin gaduh, mendingan lo pulang!" Bentak Almiera. Ryan tampak tersinggung mendengar kalimat kakak kandungnya itu, dia menyentakkan kerah kemeja Panji dan terburu-buru masuk ke dalam rumah. Dia mengemasi barangnya dan langsung meninggalkan rumah Almeira dengan mobilnya, bakan dia tampak tak sudi menoleh ke arah Panji dan Almiera yang masih berdiri di posisi yang sama.
Almiera meremas wajahnya, "Kamu juga pulang sekarang!" Perintah Almiera sembari berbalik dan berjalan menuju ke dalam rumah.
"Bu . . . bapak bonyok itu." Bi Sum berbisik sembari menunjuk ke arah Panji yang tampak memegangi sudut bibirnya yang berdarah.
Almiera menghela nafas dalam, "Tolong buatin teh manis bi." Sisi kemanusiaan Almiera tidak bisa di ajak kompromi. Dia meminta bi Sum membuatkan teh panas untuk Panji.
Almiera menoleh ke arah Panji, "Setelah saya obati lukanya, sebaiknya kamu pulang." Katanya kemudian masuk ke dalam rumah.
Panji tersenyum sekilas, meski pada akhirnya dia meringis menahan perih di sudut bibirnya sebelum akhirnya menyusul Almiera masuk ke dalam rumah.
Sementara Almiera mengambil kotak obat, Panji memilih untuk duduk di sofa ruang tamu. Almiera membuka kotak obat dan duduk bersila di sofa menghadap ke arah Panji yang meringis memegangi sudut bibirnya yang robek.
"Lagian kamu ngapain ke sini hampir tengah malem gini?!" Protes Almiera dengan suara tertahan sembari membersihkan luka di bibir Panji dengan cairan alkohol.
"Auw . . ." Panji terlihat menahan perih.
"Tahan . . ." Almiera meberbisik. Dengan teliti dan hati-hati dia mengobati luka di bibir mantan suaminya itu. "Untung Ryan nggak bikin tulang kamu patah." Gumam Almiera.
"Adek kamu itu emang tempramen." Gumam Panji. "Nggak berubah." Imbuhnya.
"Ya kamu juga yang salah, ngapain dateng ke sini hampir tengah malam gini!" Protes Almiera.
"Aku khawatir sama kamu, sama Shanon. Jadi aku lewat dan mampir." Ujar Panji menjelaskan.
"Ya tapi kamu kan tahu kalau ada mobil Ryan di depan, harusnya kamu nggak nekat mampir." Almiera mulai mengoleskan salep pada luka di bibir Panji.
"Aku cuman mau mastiin kalau kaca di depan udah di benerin." Panji memberi alasan.
"Semua yang ada di rumah ini adalah tanggungjawabku, sejak perpisahan kita, kamu udah nggak ada tanggung jawab lagi soal rumah." Almiera menegaskan. Dia bahkan menyentakkan kotak obat dengan cukup keras sebagai bukti ketegasannya.
"Tapi kan Shanon juga anakku, bagaimanapun juga kita pernah bareng-bareng duabelas tahun Al, mana bisa aku nggak peduli sama kalian begitu saja." Panji masih bisa memberikan jawaban yang persuasif.
"Maaf pak, ini teh manisnya." Bi Sum datang menengahi dengan secangkir teh manis.
"Minum dan pulang." Almiera melipat tangannya di dada.
Panji mengambil cangkir dan meniupnya tipis-tipis, "Makasih ya bi Sum." Kata Panji. Bi Sum tersenyum kemudian meninggalkan Almiera dan Panji, wanita bertubuh sintal itu memilih untuk tidak ikut campur dengan urusan bos dan mantan suami bosnya itu.
"Ya pak. Saya permisi bu." Kata Bi Sum.
"Ya bi. Makasih ya." Almirea menatap bi Sum sekilas.
"Sama-sama bu." Jawabnya kemudian meninggalkan ruang tamu.
Panji menyesap teh manis dari cangkir dan kembali meringis menahan perih di sudut bibirnya, "Niat aku tu baik sebenernya. Maaf kalau jadi ngrepotin kamu." Panji menatap Almiera.
"Jangan bertele-tele, kalau kamu udah selesai minum tehnya, sekarang mending kamu pulang." Ujar Almiera acuh.
"Ya udah, kalian hati-hati ya. Aku balik." Panji bangkit dari tempatnya duduk dan dengan ragu-ragu melangkah meninggalkan Almiera. Wanita itu bergeming, dia memilih untuk tetap duduk sembari melipat tangannya di dada.
***
Setelah Panji meninggalkan rumahnya, kini masalah baru harus dihadapi oleh Almiera. Kemarahan Ryan yang sudah barang tentu tidak akan mudah diredakan. Apalagi Ryan melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa Panji berani datang ke rumah Almiera, tentu hal itu akan mengubah sudut pandang Ryan terhadap kakanya sendiri.
Berkali-kali Almiera mencoba menelepon Ryan, tapi di tolak. Pada akhrinya Almiera hanya bisa meninggalkan pesan melalui WA untuk adiknya itu, berharap Ryan membaca dan memahami, walaupun sudah barang tentu Ryan tidak akan membalasnya. "Ryan, maafin kakak ya. Situasinya nggak memungkinkan buat kakak cerita semuanya ke kamu. Kakak tahu kamu cuman pengen ngelindungin kakak, dan kamu sudah melakukan itu sejak papa meninggal. Kamu jagain aku sama mama dan sekarang kamu juga jagain aku sama Shanon setelah nggak ada lagi Panji."
"Sebenernya niat Panji baik, Cuma pengen mastiin kalau Shanon baik-baik aja, cuman memang kesalahpahaman diantara kalian terlalu dalem dan itu membuat kamu sulit menerima kehadiran Panji di hadapan kamu. Tapi kakak minta pengertian kamu, bagaimanapun juga Panji itu papanya Shanon. Dia khawatir sama anaknya, jadi wajar dia datang. Mungkin waktunya aja nggak tepat karena hampir tengah malam dan itu mengangguu kamu. Kakak minta maaf kalau udah kasar sama kamu ya. "
Beberapa detik kemudian dua centang biru terlihat, pertanda bahwa pesan itu sudah dibaca oleh Ryan. Dan Almiera tidak perlu mengharapkan balasan dari adiknya itu, karena Ryan tidak akan pernah membalasnya. Ryan mewarisi sifat ayahnya yang tegas dan keras. Sementara Almiera lebih condong pada ibunya yang lembut dan sabar.
Almiera melongok ke kamar Shanon dan puterinya itu tampak tertidur pulas, sama sekali tidak terganggu dengan kegaduhan di luar rumah. Hal itu membuat Almiera sedikit lega. Dia menutup kembali kamar Shanon dan berjalan ke kamarnya.
Dia meletakkan ponselnya di meja sebelah tempat tidur kemudian beringsut naik ke atas ranjang dan meringkuk di sana. Almiera berusaha memejamkan matanya dan menghela nafa dalam, rasanya tulang belulangnya sudah menjerit-jerit minta di rebahkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Almiera
RomanceKisah tentang seorang wanita yang sudah berumahtangga selama duabelas tahun, tapi kemudian tiba-tiba di tinggalkan begitu saja oleh suaminya karena wanita lain. Perceraian tidak bisa di hindarkan lagi, dengan berpegang pada tanggungjawabnya untuk me...