Almiera - Sembilan Belas

660 60 0
                                    

"Halo Shan . . ." Suara Almiera terdengar di seberang sementara Shanon sedang asik bermain game di laptopnya.

"Halo ma." Jawab Shanon.

"Shan, kamu makan duluan aja ya. Mama lagi di jalan nih mau ke rumahsakit nengokin tante Raya." Terang Almiera sembari menyetir dia menghubungi puterinya melalui earphone.

"Loh tante Raya sakit apa?" Tanya Shanon.

"Belum tahu." Bohong Almiera. Tidak mungkin dia mengatakan dengan jujur pada puteri semata wayangnya bahwa Raya masuk rumah sakit akibat overdosis obat tidur karena masalah rumahtangga.

"Ok ma. Hati-hati di jalan." Tutup Shanon.

"Makasih sayang. See you di rumah ya." Tutup Almiera.

Karena belum sempat mengunjungi Raya meskipun Vivian sudah mengatakan jika kondisi Raya sudah mulai stabil, akhirnya malam ini sepulang kantor Almiera memutuskan untuk membesuk Raya.

Setelah berkendara kurang lebih satu setengah jam, akhirnya Almiera tiba di rumahsakit yang di sebutkan oleh Vivian di pesan singkat. Almiera bergegas turun dan berjalan menuju meja resepsionis untuk menanyakan di ruangan mana Raya di rawat. Vivian hanya menyebutkan rumahsakitnya dan lupa menyebutkan nomor kamarnya.

"Permisi, saya mau tanya pasien atas nama Rayana Anjani dirawat di ruangan apa ya sus?" Tanya Almiera.

"Sebentar saya check ya bu." Ujar perawat yang bertugas.

Sementara Almiera menunggu, tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya dari belakang.

"Mba Almiera." Suara seseorang dan wajah yang begitu familiar terlihat begitu Almiera menoleh. Mendadak seperti sebuah batu besar mengganjal di dadanya dan membuat Almiera sesak.

"Sharen . . ." Jawabnya dengan senyum tak ramah.

"Mba Almiera ngapain di sini?" Tanya Sharen sok akrab. Sepertinya wanita muda itu sengaja ingin menabur garam pada luka Almiera, sok bermuka manis padahal kelakukannya sungguh busuk.

"Saya mau besuk teman saya." Kata Almiera singkat.

"Oh, kalau aku kebetulan lagi priksa kehamilan." Sharens seolah sengaja memamerkan perut buncitnya.

Almiera menautkan alisnya, "Bukannya kamu nggak nikah sama mas Panji, kok udah hamil? Emang kamu nggak takut kalau mas Panji tertarik sama wanita lain terus kamu di tinggal tanpa kejelasan status? Seperti yang sudah pernah dia lakukan?" Almiera bukannya wanita yang bodoh, jika Sharen ingin bermain dengannya, maka Almiera akan meladeninya. Begitu dikatakan belum menikah dan sudah hamil, mendadak wajah Sharen terlihat pucat.

"Pasien atas nama Raya dirawat di ruangan nomor 402, bu." Terang sang perawat.

"Oh ya, terimakasih sus." Almiera tersenyum ramah pada sang suster, tapi kemudian tersenyum kecut pada Sharen. "Saya duluan." Katanya sembari memegangi buket bunga dan berjalan meninggalkan Sharen.

Begitu masuk ke dalam lift, Almiera meremas wajahnya, "Sial banget sih nasib gue." Gumamnya dalam hati.

Dia segera keluar dari lift begitu pintunya terbuka dan berjalan menyusuri lorong untuk menemukan kamar nomor 402. Begitu menemukan kamar itu, dia melongok ke dalam dan disana berbaring Raya ditemani oleh sepupunya Nanda.

Almiera menarik gagang pintu dan masuk ke dalam ruangan.

"Ray . . ." Sapa Almiera.

"Almiera . . ." Seketika mata Raya berkaca-kaca menyambut sahabatnya itu. Almiera meletakkan buket bunga di atas meja kemudian memeluk Raya erat.

"Makasih ya udah dateng." Kata Raya sembari menyusut air matanya yang pada akhirnya berjatuhan.

"Maaf ya gue baru bisa dateng sekarang." Sesal Almiera. "Hai Nand . . ." Almiera menoleh ke arah Nanda, dan wanita muda berambut sebahu yang di cat ash grey itu tersenyum. "Hai Al." Jawabnya.

"Kok lo bisa senekat ini sih Ray?" Tanya Almiera.

Raya mengigit bibirnya seolah menahan seluruh getaran dalam dirinya, "Gelap Al . . .semuanya gelap." Kata Raya dengan suara bergetar.

"Lo pikirin anak-anak dong, gimana nasib mereka kalau nggak ada lo, Ray . . ." Almiera mengusap lengan Raya.

"Anak-anak gue titipin ke rumah nyokap sama pembantu sama sus mereka. Gue udah siapin semua deposito buat mereka, tabungan, semua yang gue punya buat mereka Al, " Ujar Raya dengan suara bergetar. "Dunia gue seolah runtuh . . ." Imbuh Raya.

"Ray . . . gue pernah berada di posisi lo." Ujar Almiera dan Raya mengangguk.

"Gue paham betul situasinya." Almiera menatap Raya dalam-dalam. Tapi gue bertahan demi Shanon, dia nggak berhak mengalami hal yang lebih buruk dari apa yang sudah dia alami. Gue berjanji selama gue bernafas, gue akan berusaha kasih yang terbaik buat Shanon." Almiera berusaha menguatkan Raya.

"Iya Al . . . sekarang gue nyesel." Jawab Raya. "Gue bersyukur banget gue nggak lewat kemarin. Setidaknya gue menganggap ini sebagai kesempatan kedua buat gue memperbaiki diri, menata kembali semua yang udah hancur demi anak-anak." Kata Raya.

"Lo harus kuat Ray . . ." Almiera memeluk Raya sekali lagi dan keduanya menangis bersama. Sementara Nanda memilih ntuk keluar ruangan, memberikan kesempatan pada kedua shabat itu untuk saling mencurahkan perasaan satu dengan yang lainnya.

'Thanks ya Al . . ." Ujar Raya setelah melepas pelukannya, seulas senyum terpancar di wajah Raya. "Lo dateng dan meluk gue aja tu rasanya udah bikin gue lebih bersemangat." Kata Raya.

"Gue kan sahabat lo, gue akan selalu ada buat lo Ray. Lo pasti kuat." Almiera mengusap tangan Raya.

"Iya, lo dan Vivian adalah sahabat terbaik gue." Kata Raya.

"Jadi kapan sidangnya mulai?" Tanya Almiera.

"Mediasi udah lewat Al, tinggal nunggu ketok palu aja. Gue udah ketemu Dion dan sepakat kalau hak asuh anak jatuh ke tangan gue asal gue nggak nuntut harta gono-gini. Gue udah nggak peduli sama harta, yang utama buat gue adalah gue bisa tetep sama anak-anak." Terang Raya.

"Iya, kalau soal uang kan bisa di cari." Kata Almiera.

"Iya, semua aset jatuh ke tangan Dion, tapi tiga anak gue jatuh ke tangan gue. Rencananya habis ini gue mau balik kerja di perusahaan bokap untuk menghidupi tiga anak gue." Kata Raya.

"Itu bagus Ray. Setiaknya dengan aktif berkarir lagi, energi lo akan tersalurkan selain lo ngurus anak-anak di rumah." Jawab Almiera.

"Iya, thanks ya Al." Raya tersenyum.

"Sorry ya Ray, gue nggak bisa lama-lama, soalnya Shanon sendirian di rumah. Besok gue dateng lagi." Pamit Almiera.

"Ya, nggak papa kok. Salam buat Shanon ya." Raya membuka tangannya dan Almiera memeluknya sekali lagi.

"Ya nanti aku sampein ke Shanon. Aku pamit ya, kamu lekas sehat biar bisa cepet balik ke rumah."

"Pasti."

Almiera meninggalkan ruangan dan bergegas menuju area parkir untuk kembali ke rumah. Kemanapun dia pergi, yang menjadi fokus utamanya adalah Shanon. Jika Shanon sudah di rumah, semaksimal mungkin Almiera harus cepat pulang, sebelum Shanon tidur. Setidaknya ada quality time yang mereka habiskan bersama meskipun hanya mengobrol beberapa menit soal apa saja yang terjadi di sekolah.


AlmieraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang