Menjelang malam, Shanon tertidur di kamarnya setelah ditemani belajar oleh Almiera. Praktis quality time diantara keduanya berjalan sangat hangat dan menyenangkan. Bahkan setelah mengerjakan PR, Almiera sempat mengajak Shanon memakai masker bersama dan merendam kaki dengan air hangat untuk membuat diri mereka merasa lebih relaks.
"Mama seneng nggak ngabisin banyak waktu sama Shan?" Tanya Shan saat mereka berdua sedang merendam kaki bersama-sama sementara wajah mereka dibaluri oleh masker dengan aroma matcha.
"Seneng dong, seneng banget." Jawab Almiera.
"Mama nggak pengen kaya gini terus?" Tanya Shanon tiba-tiba dan itu cukup mengejutkan untuk Almiera.
"Maksud Shan, mama berhenti kerja terus jagain Shan di rumah, ngurusin Shan gitu?" Tanya Almiera.
"Iya." Jawab Shan dengan suara bahagia.
Almiera menelan ludah, bagaimana dia bisa meninggalkan tanggung jawabnya sebagai tulang punggung keluarga dan tidak bekerja lagi sementara semua pengeluaran rumah, sekolah, dan berbagai cicilan, dia sendiri yang harus menanggungnya.
"Shan pengennya gitu?" Almiera menjawab pertanyaan itu dengan balik bertanya.
"Iya." Jawab Shanon lagi.
Almiera menghela nafas dia berusaha menemukan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan bahwa itu tidak mungkin terjadi, "Tapi Shan, kan Shan tahu mama berjuang sendirian untuk cari uang, untuk jagain Shan. Jadi mama berharap Shan mengerti situasinya ya nak, mama janji akan berusaha membagi waktu sebaik-baiknya untuk memperhatikan Shan juga." Almiera menatap puterinya itu.
"Kenapa mama nggak nikah lagi?" Tanya Shanon mendadak.
Mata Almiera membulat, "Maksud Shan?" Tanya Almiera.
"Om Abimanyu kan kaya raya, kalau mama nikah sama dia, mama nggak perlu kerja lagi. Mama bisa fokus ngurusin aku." Jawab Shanon.
Almiera tersenyum tipis, "Kok kamu bisa ngomong gitu?" Tanyanya.
Shanon mengangkat bahu, "Om Abimanyu sendiri yang bilang. Kalau dia nikahin mama dia mau mama fokus ngurusin aku, biar dia yang cari uang." Jawab Shanon polos.
Wajah Almiera memanas dibalik maskernya, rasanya dadanya mendadak dipenuhi dengan kupu-kupu yang berterbangan.
"Kapan dia ngomong gitu?" Tanya Almiera lagi.
"Tadi dia dateng ke sekolah." Jawab Shanon.
Almeira memang melihat itu, tapi jelas dia harus bersandirwara di hadapan puterinya itu, "Dia ke sekolahkamu?" Tanya Almiera pura-pura tidak tahu.
"Iya." Angguk Shan.
"Terus dia ngomong apa lagi?" Tanya Almiera.
"Ya dia jelasin kalau dia sayang sama mama sama Shanon juga. Kalau Shanon nggak setuju soal om Abimanyu, dia janji mau ninggalin mama. Tapi kalau Shanon setuju, om Abi janji buat bahagiain mama, dia akan cari uang dan minta mama resign terus fokus ngurus aku di rumah." Kata Shanon dengan polos.
"Terus kamu jawab apa?" Tanya Almiera penasaran. Jangungnya mendadak berdegup kencang menunggu jawaban dari Shanon.
"I asked him not to hurt you then." Jawab Shanon singkat.
Almiera segera memeluk puterinya itu. "Forgive me Shan . . ." Tangis Almeira pecah ketika memeluk puterinya itu. "Mama pikir selama ini tindakan mama sudah paling bener, mama ambil tanggungjawab untuk ngurus Shanon sekaligus untuk kerja, tapi mama nggak pernah nanya perasaan Shanon soal itu." Ujar Almiera.
"It's ok ma, Shanon ngerti kok, kalau semenjak nggak ada papa, mama harus jadi mamanya aku dan papanya aku." Kata Shanon sembari mengusap-usap punggung mamanya. Dan bukannya semakin mereda, tangis Almiera justru semakin pecah. Dia tidak menyangka, gadis berusia sebelas tahun itu bisa bersikap sedewasa itu menghadapi semua masalah pelik yang tidak seharusnya dia hadapi di umurnya yang begitu muda.
***
Dan sekarang setelah keduanya saling mengungkapkan perasaannya, Almiera berjalan keluar kamar Shanon dan menutupnya. Dia melihat kea rah ponsel dan ada satu pesan singkat masuk.
"Hari ini aku ketemu Shanon, Sorry nggak kasih tahu kamu dulu." Tulis pesan itu, dan pesan itu dari Abimanyu.
Almiera berjalan menuruni tangga dan duduk di ruang tengah, "Shanon crita kok." Jawabnya.
"Ngomong apa dia?" Tanya Abimanyu lagi.
"What a sweet you are." Jawab Almiera.
Beberapa detik kemudian panggilan masuk ke ponsel Almiera, "Halo . . ." Almiera menerima panggilan itu.
"Halo . . ." Suara Abimanyu terdengar di seberang. "Shanon ngomong apa sama kamu?" Tanya Abimanyu penasaran.
Wajah Almiera menghangat dan bersemu merah, "Kamu ngomong ke Shan kalau maksud kamu itu baik deketin aku, dan kalau Shan nggak kasih ijin kamu bakalan mundur. Is that right?" Tanya Almiera.
"Ya . . . bener. Aku udah memikirkan matang-matang buat ketemu Shanon dan ngomong berdua aja sama dia, at least kalau dia nolak, hubungan kita belum terlalu jauh. Dan kalau dia nerima, aku nggak bisa nunda lagi buat take action." Jawab Abimanyu.
"Terus dia nolak atau nerima?" Tanya Almiera, sebenarnya Almira sudah tahu jawabanya, tapi dia ingin mendengar versi Abimanyu soal obrolan antara mereka berdua di belakang Almiera.
"Tentu aja Shanon nerima." Abimanyu menjawab dengan percaya diri.
"Kamu bujukin pakai coklat ya?" Goda Almeira.
Abimanyu berdehem, "Aku serius ngobrol sama Shanon, karena ini menyangkut kehidupan kita, kehidupan kamu, kehidupan Shanon dan kehidupanku. Jadi aku nggak main-main." Abimanyu terdengar begitu serius.
"Almiera, aku serius lho." Abimanyu menegaskan dan Almiera terkikik.
"Iya aku tahu." Almiera terkikik geli.
"Oh ya, bilangin ke mantan kamu. Aku nggak suka dia meracuni pikiran Shanon kaya gitu ya." Protes Abimanyu.
"Meracuni apa?" Tanya Almiera.
"Dia bilang ke Shanon kalau kita nikah dan punya anak, kita bakalan lebih sayang ke anak kita dibandingkan Shanon. Otaknya dimana sih itu orang?" Abimanyu terdengar begitu marah.
Almiera menghela nafas dalam, "Itu juga masalahnya. Dia memanfaatkan Shanon buat cuci otaknya si Shan dengan kalimat-kalimat dia yang nggak masuk akal itu. Aku udah marah besar tadi pagi, tapi nggak ketemu sama dia. Nanti lah aku temuin dia." Ujar Almiera.
"Nggak usah, nggak usah di temuin." Jawab Abimanyu. "Nggak ada gunanya ngomong sama orang kaya gitu. Biar aku aja yang urus." Abimanyu menjawab.
"Kok jadi kamu yang marah?" Tanya Almiera.
"Ya jelas aku marah lah, gimana dia bisa tega membuat Shanon, anaknya sendiri, darah dagingnya sendiri sedih dan kepikiran soal sesuatu yang nggak mungkin terjadi. Itu kan namanya nakut-nakutin." Terang Abimanyu.
"Ok . . ." Almiera berusaha menahan emosi Abimanyu. "Biar aku yang urus." Jawab Almiera.
"No . . . itu urusanku. Dia udah bawa-bawa namaku soalnya." Abimanyu masih terdengar penuh emosi.
"Terus kamu mau ngapain?" Tanya Almiera.
"Ya kasih dia pelajaran, biar lain kali dia mikir sebelum ngelakuin sesuatu." Abimanyu menjawab.
"Jangan aneh-aneh deh. Udah nggak usah di pikirin, dia emang gitu orangnya." Almiera berusaha meredam emosi Abimanyu.
"Besok ketemu setelah jam pulang kantor ya." Tutup Abimanyu.
"Halo . . . halo . . ." Panggilan itu berakhir begitu saja. Abimanyu mengakhiri bahkan sebelum Almeira menjawab. Almiera mengerucutkan bibirnya, "Duh, jangan sampai deh mereka main tonjok-tonjokkan." Gumam Almiera. Meski dia hampir yakin bahwa Abimanyu akan menang dibandingkan dengan Panji mengingat postur tubuh Abimanyu yang lebih tinggi dan tegap dibandingkan Panji yang cenderung lebih kurus dan lebih pendek dari Abimanyu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Almiera
RomanceKisah tentang seorang wanita yang sudah berumahtangga selama duabelas tahun, tapi kemudian tiba-tiba di tinggalkan begitu saja oleh suaminya karena wanita lain. Perceraian tidak bisa di hindarkan lagi, dengan berpegang pada tanggungjawabnya untuk me...