HELLOOOOWWW
happy reading!!
.
“Serena!”
Merasa namanya dipanggil, gadis itu menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah sumber suara. Dilihatnya Ben yang sedikit berlari menghampirinya.
“Ya, Kak?” tanya Serena ketika kakak kelasnya itu telah berada di hadapannya.
“Lo bisa jadi fotografer buat anak Niagara yang ikut lomba olahraga nanti, gak?”
Gadis itu sedikit terkejut, tertawa pelan. “Kenapa tiba-tiba gue?”
“Divisi dokumentasi dari Tim Jurnalistik harus pada ke Puncak buat ikut lomba juga. Gue liat di Instagram lo, banyak foto-foto bagus yang lo ambil. Jadi, gue pikir lo bisa handle ini.”"Terus lo gak ikut lomba?"
Ben mendesah pelan sambil tertawa kecil. Lelaki itu menggeleng. "Gue udah tahun kemaren. Jadi, sekarang disuruh jadi videografer buat dokumentasi pertandingan olahraga."
"Liat nanti deh, ya, Kak?""Gue mohon usahain, ya? Sorry kalau terkesan maksa, ini buat keperluan sekolah soalnya. Guru-guru udah pada gak mau tau.”
“Ekhem… EKHEM EKHEMM!!”
Suara deheman yang sangat keras dan dibuat-buat membuat mereka tersentak dan menoleh bersamaan ke arah sumber suara."Kalau gitu—" Ben melirik Kelvin sekilas, "kabarin gue kalau lo udah ada keputusannya. Gue duluan!” pamit Ben yang langsung melangkah pergi.
“Kenapa?” tanya Serena, menatap Kelvin datar.
“Gatel!”・。・。・。
Rintik air yang berjatuhan dari langit menyapa permukaan kulit Serena, gadis itu buru-buru berlari menuju halte bus yang untungnya tak jauh dari tempatnya berdiri.
Hujan semakin deras ketika Serena berhasil berteduh dan susuk di kursi panjang halte itu. Gadis itu kemudian menepuk-nepuk baju dan lengannya yang sedikit basah karna hujan.
Halte, hujan, dingin. Mengingat hal itu Serena tersenyum miris. Wajahnya mengadah menatap langit ketika pikirannya tiba-tiba tertuju pada kejadian waktu silam, dimana seorang laki-laki yang membungkus hangat dirinya, dan berakhir menciptakan hawa panas diantara mereka berdua.
Memalukan!
“Hujannya gede, ya?”
Suara itu berhasil membuat Serena tersadar dari lamunannya, lalu menoleh ke samping. Gadis itu tersentak, menggeser tubuhnya hingga ujung kursi dan menatap orang itu was-was.
Deniel?
Ia baru menyadari keberadaan lelaki itu yang menatap lurus ke depan sambil menghisap batang rokok di selipan jari tengah dan telunjuknya dalam-dalam.
Serena menahan napasnya ketika Deniel menghembuskan asap rokok dari mulutnya yang membumbung tinggi dan menyebar.
Menyadari itu, Deniel menoleh sekilas ke arah gadis itu lalu terkekeh. Tangannya lalu membuang puntung rokok itu ke tanah dan langsung menginjaknya hingga mati.
“Tenang aja, gue gak akan macem-macem sama lo hari ini. Gue masih capek, dan kalau lo mau tau, gue juga masih susun rencana. So… gak usah kabur! Hujan, nanti sakit.”
Perkataan itu sama sekali tidak membuat ketakutan Serena berkurang, justru ia semakin was-was. Jika kakinya yang tidak tiba-tiba lemas, ia pasti sudah melarikan diri dari tadi.
“Kacang?”
Serena menggeleng kemudian menelan salivanya susah payah, ketika Deniel mengulurkan sebungkus kacang ke arahnya. Mendapati tanggapan perempuan itu, Deniel mencebikkan bibirnya dan kembali menatap ke depan, memakan kacang itu sendiri.
“Omongan gue kayaknya emang susah buat lo percaya, ya?”
Serena masih belum mengeluarkan suaranya. Tangannya meremas erat tali tasnya dengan napas yang sedikit tak beraturan.
“Bahkan lo gak percaya pas gue bilang kalau Kelvin sebenernya punya dendam sama lo.”
Mata Serena membelalak mendengar itu. Badannya menegang dengan dentuman jantung yang kian berpacu begitu cepat.
“Pelindung lo gak dateng? Apa… dia lagi bales dendam?” Deniel tersenyum melihat wajah Serena yang memucat. Pandangannya turun ke arah lengan gadis itu. “Lo gak pake gelangnya? Gak dikasih atau diambil lagi?”
“Stop!” desis Serena, dengan isakan yang sudah keluar dari mulutnya.
“Kenapa? Udah percaya gue sekarang?”
“GUE BILANG BERHENTI!” Isakan Serena semakin keras dan terdengar menyakitkan. Berbeda dengan lelaki itu yang malah memperlihatkan raut bahagianya.
Serena benar-benar terpengaruh dengan ucapan laki-laki itu. Kedua tangannya kini mencengkeram erat kepalanya dengan air mata yang semakin deras membasahi pipinya.
Sampai akhirnya sebuah mobil hitam berhenti di depan mereka, dengan sang pemilik keluar dan buru-buru menghampiri Serena.
“Hey, lo kenapa?”
“JANGAN SENTUH GUE!” teriak Serena semakin menggila, menghempaskan kuat-kuat tangan yang menyentuh bahunya.
“Serena, ini gue! Juna.”
Serena perlahan membuka matanya, suara tangisnya masih terdengar. Bukan Juna yang ia inginkan untuk berada disini sekarang. Serena tak bisa menyangkal bahwa ia memang butuh Kelvin sekarang.
“Ooh. Ini jadi pelindung baru lo?”
“Ayo pulang!” ajak Juna mengabaikan ucapan Deniel. Juna melepaskan jaket yang melekat di tubuhnya lalu meletakkannya di kepala gadis itu. Ia menuntun Serena yang tatapannya kosong untuk masuk ke dalam mobilnya.
Deniel tersenyum miring melihat mobil itu yang semakin menjauh. Tangannya kembali mengambil satu batang rokok, menyapit benda itu dengan bibirnya, lalu membakar ujungnya dengan pematik.
Ketika tembakau itu sudah menyala, sebuah tangan mengambil tembakau itu dari mulutnya. Deniel menghela napasnya ketika seorang perempuan kini duduk disebelahnya, menyesap rokok itu lalu meniupkan kepulan asapnya ke arah lelaki itu.
“Ada perlu apa? Nara.”
KAMU SEDANG MEMBACA
smara (स्मर)
Fiksi RemajaSeorang Kelvin Samudera Vander dikenal menyeramkan. Apalagi ia adalah sang Alpha dari geng Gunnolf yang sudah turun-temurun dari ayahnya. Meskipun geng itu sedang bubar untuk sementara karna suatu hal, tetap saja tak menutupi sejuta pesonanya untuk...