"Bahkan, saat tak satu pun yang bisa dijanjikan cinta itu setelah aku mati- matian mengejarnya-sampai terengah-engah. Setidaknya aku tidak menyesal, karena telah memperjuangkannya."
-Kafiel
•••
Tepat di depan anak tangga berlantai marmer mobil itu berhenti. Lelaki berperawakan tegap itu mengisyaratkan Kafiel agar segera keluar dari dalam mobil. Kafiel masih tak merespon. Tak ada tanda-tanda ia akan keluar. Matanya terkunci mati. Ia menarik napas gusar. Menoleh ke samping.
Beberapa penjaga dengan setelan jas rapi mematung disana. Kafiel sangat muak dengan pemandangan yang seperti ini. Seharusnya ia tidak perlu terjebak di sini, di tempat dimana setiap gerakkanmu akan di pantau selama dua puluh empat jam.
"Juta-an orang di luar sana berdoa siang malam agar bisa menduduki tempat seperti yang kau tempati saat ini. Lihatlah, Tuhan yang Maha Kaya malah memberikannya padamu. Pada orang yang tak menginginkannya. Tak ada yang akan berubah, Kaf. Papamu sudah memenangkan segalanya. Kau seharusnya mencontoh keambiusan Tuan Daffindra Young. Dia mungkin tidak akan dikenal dunia, kalau saja dahulu ia menghabiskan waktunya untuk hal yang sia-sia." Hang memberi jeda.
"Lupakan gadis itu. Lihatlah apa yang dilakukan Papamu untukmu. Dia sudah mengorbankan segalanya. Masa mudanya. Hidup bertahun-tahun dengan berkas-berkas setiap saat itu bukan sesuatu yang bisa kau anggap remeh. Dan kau? Apa kau ingin menghancurkan apa yang telah ia tata dengan baik dan berlari ke arah gadis itu? Apa begitu?"
"Apa salahnya mencintai gadis biasa? Bukankah dia juga manusia?"
Hang tak menjawab. Dia mengancingkan kembali jasnya. Turun dari mobil dengan langkah pasti. Tepat di samping Kafiel duduk, ia membukakan pintu untuk si keras kepala itu. Hang menatap Kafiel mantap.
"Cinta yang kau bicarakan, hanya akan mengikatmu pada kebahagiaan paling semu dan murahan. Untuk menanjak puncak dunia, menggenggam tahta kekuasaan, kau terlebih dahulu harus melepaskan sesuatu yang berbau murahan dari tubuhmu."
Jika saat itu bungkam bisa dijadikan jawaban pembangkangan. Maka saat itu Kafiel bisa dipastikan membangkang. Kenyataan yang telah tertulis sejak ia lahir, tidak benar-benar bisa ia terima.
"Tuan, silahkan turun." Hang kembali bersikap formal. Menundukkan kepala.
Tepat saat Kafiel menjatuhkan kakinya di atas lantai, beberapa penjaga serentak menundukkan kepala. Kafiel merasa sesak dengan perlakuan orang-orang itu. Sungguh, ia bukanlah sejenis manusia yang sangat suka di agung-agungkan.
Kafiel berjalan dengan langkah pasti. Hang mengimbangi langkah Kafiel. Menyematkan jas di tangan lelaki itu. Hendak memasangkan kancingnya, tapi Kafiel menolak. Ia memasang sendiri. Bukan hal sulit untuk memasang kancing baju sendiri. Bahkan anak kecil yang belum bisa bicara pun pasti bisa melakukannya. Kafiel rasa begitu.
Lorong demi lorong ia lewati. Tepat di depan pintu sebuah ruangan, Kafiel dan Hang menghentikan langkah.
Kafiel masuk, sendiri. Pintu tertutup rapat kembali, isyarat dari sang empunya ruangan.
Daffindra Young. Nama yang melekat di belakang nama panggilannya. Warisan orang tuanya. Nama yang membuatnya sesak setiap saat. Mencekik lehernya. Mengekang pergerakannya. Karena nama itu ia pernah berandai-andai.
Andai saja ia bukan anak Daffindra Young, sudah pasti saat ini ia bisa melakukan apapun yang ia suka tanpa diawasi kamera pengintai. Andai saja ia bukan darah daging seorang profesor yang ambisius, sudah pasti saat ini ia bisa memproklamirkan dirinya di depan dunia sebagai manusia paling bebas, tanpa peduli dengan peraturan yang ditetapkan profesor gila itu padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Crown || Lee Jeno [✓]
Teen FictionKafiel Epsilon Young. Anak tunggal yang lahir dari rahim wanita berkebangsaan Inggris. Menjadi orang yang kehidupan pribadinya cukup disorot di negri ini. Semua media berita menulis namanya dengan bangga. Anak pengusaha itu selalu menjadi topik pali...