32. I Let My Pride Take Me

17 2 0
                                    


•••


Dari semua orang yang lalu-lalang dan enggan menyapa, hanya Felix lah yang merelakan waktunya untuk duduk di samping Kafiel.

Ia melirik arloji perak yang dipakainya, seharusnya ini jadi waktu paling berharga untuk mengenyangkan perut di kantin sekolah. Tempat anak-anak berbicara omong kosong dan melebarkan senyuman tanpa beban.

Begitulah hidup berjalan, semua orang tahu, bahwa Kafiel adalah anak si konglomerat yang memilih bersekolah di SMA Madani, padahal ia punya pilihan yang lebih baik. Semua gadis berlomba-lomba untuk menjadi yang dipeluknya, tapi lelaki berwajah dingin dan berhati hangat itu tidak bisa melepas bayang-bayang Aya dari pikirannya. Gadis itu tertanam abadi di hati dan ingatannya.

Felix menghela napas panjang, menutup buku yang dibuka Kafiel sedari tadi. Bohong kalau anak itu membaca dan fokus pada bukunya. Felix tahu, jika si lelaki paling bucin di SMA Madani ini tengah gunda, pikirannya resah, hatinya patah dan tubuhnya tidak bersemangat.

Begitulah cinta, tidak sepenuhnya ia akan hadir dalam bentuk paling menyenangkan. Kadang kala ia akan menjadi racun yang mematikan jika seseorang tidak mampu mengendalikan perasaannya dengan benar.

Namun, siapa yang bisa menandingi perasaan dan mengalahkannya, bukankah sepanjang sejarah dan sepurba peradaban, ia sudah tanpa tanding memperbudak manusia.

Ia membuat manusia menjadi serakah. Seorang kekasih akan meninggalkan belahan jiwanya dengan alasan ia mencintai gadis lain, memilih mengabaikan kenangannya. Lalu, pantaskah cinta seperti itu dipertahankan? Semoga saja orang-orang seperti itu dibumihanguskan semesta.

Dan Kafiel? Ia bodoh, pengecut, dan tidak pantas dicintai. Lelaki mana coba? Lelaki mana yang meninggalkan kekasihnya untuk kedua kalinya. Ini bukan yang pertama, dan Kafiel sadar akan itu.

Ia paling tahu bagaimana dalamnya gadis itu mencintainya dan cintanya pun tak tertandingi. Ia memahami bahwa kekasihnya itu mendambakannya lebih dari yang ia bayangkan, tetapi mengapa? Mengapa ia memilih menghancurkan segalanya?

Kesetiaan. Kepercayaan. Cinta.

Mungkin menjadi omong kosong belaka.

Suatu saat, jika ia meminta gadis itu kembali, mungkin saja gadis itu akan menolak mentah-mentah. Atau bahkan hal yang lebih mengerikan, ia dilupakan untuk waktu selamnya.

Katanya, perpisahan karena kematian adalah perpisahan yang terbaik. Dan seharusnya, hanya kematian yang memisahkan mereka berdua. Bukan sebuah perpisahan yang dimana ada kata selamat tinggal di dalamnya oleh orang yang meninggalkan.

Kafiel lebih memilih mati, dan setiap hari libur berharap Aya menjenguk makamnya, mengharumkannya dengan dedaunan beraroma surga. Menunggu untuk dipertemukan di kehidupan berikutnya. Bukankah itu adalah kisah cinta yang abadi, dan akan dikenang semua orang. Nama mereka akan harum dalam sejarah.

Hanya saja, waktu dan dunia selalu mencoba memisahkan mereka. Dan berhasil. Saat Aya sudah memutuskan untuk menggenggam tangannya dan menghadapi masa depan bersama, ia memilih mengakhirinya.

Tolong, jangan salahkan Kafiel. Ia hanya mengambil keputusan yang sekali lagi menurutnya benar. Menutup mata dari kenangan yang paling indah dalam hidupnya. Meski Ayana Blossom Alice adalah kado terbaik yang diberikan semesta padanya, sayangnya kepengecutannya membuatnya memilih melepaskan kado paling indah itu dan mengembalikannya pada semesta. Berharap dunia dan seisinya mencintai gadis itu melibihi apapun yang pernah ada.

Sosoknya telah ia lepaskan walaupun tidak pernah ikhlas. Membiarkan dirinya tertinggal sendiri dan kesepian di lautan kenangan paling menyesakkan.

Mungkin, saat-saat hujan jatuh akan menjadi bagian favoritnya hari ini dan hari-hari berikutnya. Karena dulu saat hujan, ia bersama gadis itu dengan balutan kebahagiaan.

The Crown || Lee Jeno [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang