6. We Unstoppable

31 3 0
                                    

"Aku bergegas mengemas air mata. Tak lagi merangkai harap yang sudah patah. Berhenti berandai-andai atas sesuatu yang tak akan mungkin kumiliki. Sebab, aku tidak ingin menyakiti diri yang sudah terlanjur di hantam kejamnya dunia ini."

-Aya

෴⁠ ⁠༎ ༎ ༎ ⁠෴

Malam itu. Dia berlari kecil. Melangkahi genangan hujan di badan jalan. Percikan air yang turun dari langit menghantam kepalanya. Rambut hitam legam miliknya pun menjadi basah. Segera ia dekatkan kantong plastik berisi sekotak makanan yang baru saja ia beli di salah satu restoran terdekat rumah sakit ke dada.

Kantong itu berisi nasi goreng dengan kecap melimpah pesanan Sean, adiknya. Ia tersenyum puas ketika sudah berhasil masuk dan berlindung dari hujan.

Lalu melangkah pasti melewati lorong. Sesekali tersenyum kala orang-orang melihat ke arahnya. Tepat di depan ruangan tempat adiknya di rawat ia menghentikan langkah. Masuk ke dalam.

"Sean, aku datang! Kau harus habisin nasi goreng ini. Kau sudah janji bukan?" Aya duduk di damping Sean. Hendak menyuapi lelaki yang tengah terkapar itu.

"Kak, aku mau makan sendiri." Sean bangkit dari tidurnya. Mengambil alih nasi goreng di tangan Aya.

"Kenapa Papa sampai memukulimu? Dia tidak pernah memukulmu Sean. Apa kau melawannya?"

"Hmm, tepatnya begitu." Sean mengunyah makanan di mulutnya.

"Sean! Jangan pernah lakukan itu lagi."

"Tidak, tidak akan. Aku mau pulang. Di sini sangat sesak." Sean menyeruput minumannya.

"Pulang? Seperti keluargamu harmonis saja. Bahkan rumah itu nyaris tidak ingin kutempati. Tidak ada lagi kehangatan di sana," sarkas Aya.

"Lagi? Aku nggak tahu bedanya keluarga yang harmonis atau pun yang tidak. Sejak aku bisa mengingat kejadian yang terjadi dalam hidup. Aku nggak pernah lihat keluarga kita yang harmonis." Sean melempar infusnya. Bergegas pergi dengan langkah gontai.

"Sean! Apa yang kau lakukan? Berhenti bertingkah dan kembali ke tempatmu!" perintah Aya menghadang Sean. Ia tepat berdiri di depan pintu agar bocah di depannya tak bisa menembus keluar.

"Kak! Aku tidak mau tidur di sana! Aku juga tidak suka rumah! Aku benci kehidupan yang kita jalani! Aku benci Mama! Aku benci Papa! Aku benci kau! Aku benci kenapa aku dilahirkan! Aku benci kenapa aku harus terperangkap bersama orang-orang aneh seperti kalian! Aku benci diriku sendiri! Aku ingin hidup normal seperti mereka! Aku ingin Papa dan Mama datang ke acara pertunjukkanku! Aku ingin makan di meja yang sama dengan mereka! Aku ingin Mama memarahiku karena pulang terlalu larut! Aku ingin Papa memukulku karena nilaiku yang jelek! Aku ingin Mama membangunkanku di setiap pagi!"

"Sean...," lirih Aya.

"Aku ingin Papa mengantarku ke sekolah! Aku ingin Mama mencium pipiku! Aku ingin Mama tersenyum menyambutku! Aku ingin melihat Papa bangga padaku! Aku ingin mereka! Aku malu! Aku malu dengan kalian! Aku muak! Aku ingin mati saja!"

"Sean." Aya memeluk Sean. Berusaha menenangkan bocah yang gemetar itu, mata bocah itu memerah penuh amarah. Di pipinya air mata telah mengalir deras.

Mungkinkah saat ini hatinya merasa tercabik. Terkoyak di hantam kenyataan yang entah kenapa menjadi takdirnya. Kehidupan seolah mempermainkannya. Ini masih terlalu dini untuk berduka, tapi kenapa tidak ada yang paham, bahwa duka ini tidak seharusnya ia tanggung.

Bocah yang seharusnya masih bermain manja di pundak seorang Ayah, kini malah harus dilarikan ke rumah sakit akibat pukulan menyakitkan seorang Ayah itu sendiri. Bocah yang seharusnya menangis di pelukan ibunya karena jatuh tersungkur setelah bermain, kini malah keadaan ibunya yang membuatnya ingin menyerah pada dunia.

The Crown || Lee Jeno [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang