28. Everything

12 2 0
                                    


•••

Aya.

Gadis dengan penampilan acakan tersebut berjalan pelan menuju gundukan anak tangga, akan tetapi, ia berhenti dan membalikkan badan sembilan puluh derajat. Memandang Dian yang terlampau fokus mengamatinya.

"Pipi kamu merah, bibir merona, wajah berseri." Dian menggeleng takjub, menopang dagu dengan kedua tangan. "Nggak biasanya."

Dian yang semula duduk di atas kursi, kemudian berjalan menujunya. Mengambil kantong plastik besar di tanganya. Lalu menuntun Aya menuju dapur.

"Kamu pasti lapar."

Aya diam saja. Sama sekali tak berniat membuka mulut. Ia masih fokus mengamati Dian yang tampak mengeluarkan semua isi belanjaan yang dibelinya bersama Kafiel tadi.

Dari kursi meja makan ia dengan tenang memperhatikan, sedetik berikutnya, kalau saja Dian tidak berujar, mungkin Aya sudah menyatukan pipinya di meja makan.

"Berita Kafiel malam ini gagal tayang sekaligus gagal cetak. Bukan tanpa alasan, Si konglomerat itu menyogok semua media yang datang pada acara ulang tahun anaknya." Dian menggeleng, tangannya dengan jeli mengeluarkan semua belanjaan.

"Ha?" Ia masih terbengong-bengong, tidak mengerti apa yang dibicarakan Dian.

"Woahhh, kamu beli Caramel Corn? Uwuu Sayang, ini stok di rumah udah habis." Ia tersenyum manis. "Makasih." Kemudian memeluk makanan itu dengan unyu.

Lol!

"Kafiel yang beliin."

"Ya tapi tetap aja kamu yang bilangin ke Kafiel. Jadi tambah sayang deh." Dian terlihat begitu terharu.

Kalau saja ekspresi Aya tidak sedatar ikan teri yang berjemur di pasar, Dian pasti sudah memeluknya.

"Tan, jelasin yang tadi." Aya sedikit menuntut.

Terlalu penasaran.

"Iya. Tadi kebetulan Tante sama Sean pergi ke restoran, beli makanan, terus ada dua wartawan datang ngedumel. Katanya, atasan mereka nelpon buat suruh balik karna gak boleh liput acara ulang tahun Kafiel, padahal udah jalan 15 persen."

"Emang bisa gitu?"

"Apasih Aya yang gak bisa dibeli dengan uang?" Dian tersenyum. Berjalan menuju kompor dan meletakkan wajan di atasnya. "Kamu udah makan?"

"Belum."

"Sudah Tante duga." Ia terkekeh. "Kenapa Kafiel sampai pingsan?"

"Mungkin ada trauma, aku belum sempat nanya."

"Wow!" Dian berbalik tidak percaya. "Sudah berapa tahun kamu jadian sama Kafeil? Hal sebesar itu bahkan kamu nggak tau."

Ia menggeleng takjub, terlalu aneh rasanya jika seorang kekasih tidak mengetahui karakteristik pasangannya.

"Masalah aku aja udah segunung, masa iya ngurusin masalah Kafiel juga!" Ia membelalak, mencoba membela diri, tidak ingin disalahkan.

Dian menghela napas, kemudian memotong bawang tipis dan memasukkan ke dalam wajan yang sudah dipanaskan.

"Kalau gitu ceritanya, nggak akan ada alasan buat Kafiel bertahan selain kecantikan kamu."

"Apa aku secantik itu?"

"Jelas! Kamu cantik, lebih cantik ketimbang mama kamu. Hanya dengan liat wajah kamu aja, bisa Tante pastikan lelaki di kota ini akan langsung tunduk."

"Itu berlebihan."

The Crown || Lee Jeno [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang