31. Between Us

18 1 0
                                    


•••

Di sore yang temaram, dimana langit masih kelihatan mengandung awan hitam. Sisa-sisa hujan tadi siang.

Dari balik pintu, Kafiel mengamati pria 47 tahun yang sedang merapikan buku di atas meja.

Telunjuknya menelusuri judul buku satu persatu dengan lamban. Mulai dari buku yang berjudul "Kosmos", "Astrofisika untuk Orang Sibuk", "Sejarah Singkat Waktu", "Bumi dan Tata Surya" dan "Asal mula".

"Baru pulang?" Laki-laki itu bertanya tanpa melihat. Masih fokus pada aktivitasnya.

Kafiel berjalan pelan dan bergumam "Hm" sedikit.

Laki-laki itu, Daffindra Young. Ia berbalik dan tersenyum, melangkah untuk mendekat. Kemudian menangkup wajah Kafiel yang lembab dengan kedua telapak tangannya. Tersenyum lalu berkata, "Jangan sering basah-basahan."

Kafiel mengangguk. Ia meninggalkan Daffindra dengan senyuman canggung sebelum menuju kamar mandi.

Tidak biasanya ayahnya itu ada di kamarnya.

"Papa masih di sini?" Kafiel berkata ketika ditemui sang ayah masih di dalam kamarnya, pria dengan setelan kantor itu mengamati langit hitam di balik jendela kaca.

Ia menoleh ketika suara Kafiel berhasil mengusik lamunannya. "Ada yang ingin Papa bicarakan." Ia menghela napas. Melepaskan kacamata hitam tebal yang dipakainya. "Pakai baju kamu terlebih dahulu."

Kafiel. Pria itu kemudian berbalik dan berjalan menjauh, menuju lemari pakaian. Memilah kaus oblong secara acak dan celana training panjang.

"Aku berterimakasih karena Papa sudah mau menerima Aya." Ia berkata untuk memecah keheningan. Sekaligus, sebagai rasa syukurnya karena sang ayah telah mau menerima kekasihnya.

"Apa terlihat begitu?"

"Dia gadis yang baik bukan?" Kafiel memilih mengabaikan pertanyaan sang ayah.

"Seperti katamu. Namun kali ini bukan itu yang ingin Papa bicarakan denganmu." Ia mengehela napas, serius.

Satu helaan dari Daffindra tadi membuat Kafiel berbalik. "Apa yang ingin Papa katakan?" Nadanya serius, bersamaan dengan matanya yang mengekori arah pandang Daffindra.

Hingga jatuh pada sebuh koran di atas meja. Kafiel memasang ekspresi wajah semakin gusar. Berpikir bahwa ini bukan sesuatu yang menyenangkan untuk dilihat.

Wajah Daffindra yang mulai suram sudah sangat menjelaskan segalanya. Ini bukan Daffindra yang tadi, Daffindra yang menyambutnya dengan sebuah pertanyaan hangat dan nada bersahabat, lalu menangkup wajahnya sembari memancarkan senyum paling menenangkan.

Sesaat ia belum menyadari ketika langkahnya sudah semakin dekat dengan objek yang menyita perhatian keduanya. Ia memandang sang ayah sebelum mengambil koran itu.

Menggeleng-gelengkan kepala tidak percaya, kala melihat tulisan besar yang terlihat mengerikan. Kafiel tersenyun hambar dan melihat Daffindra, meminta penjelasan lebih dari sang ayah.

Perlu diketahui, koran ini pula yang membuatnya hampir menghancurkan wajah Felix tadi di perpustakaan.

"Itu benar. Dua hari yang lalu aku mendapatkan koran itu sebelum di cetak secara besar-besaran dan disebarkan ke masyarakat. Aku memintanya menunda berita itu untuk di cetak. Kau tahu kan berapa banyak uang yang aku habiskan untuk masalah bodoh itu." Ia mengehela napas panjang, sementara Kafiel mendengarkan tanpa berkedip.

"Apa lelaki itu benar ayah Aya?" Ia menolak percaya dengan apa yang ia katakan barusan. Itu terlalu menyakitkan untuk dibahas.

Kalau benar, bagaimana gadis itu bisa menerima kenyataan paling mengerikan ini?

The Crown || Lee Jeno [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang