38. One Last Cry

33 2 0
                                    

•••

K

afiel membutuhkan dunianya. Kafiel dibutuhkan orang-orang. Daffindra menyayangi Kafiel lebih dari dirinya sendiri. Ia anak tunggal yang diharapkan bisa meneruskan perusahaan keluarga.

Masa depan bisnis keluarga berada di tangannya. Kafiel diikat oleh sejuta peraturan keluarga yang mengunci pergerakkannya. Sementara Aya, ia bukan orang seperti itu, ia orang yang memiliki kebebasan penuh atas dirinya sendiri. Ia sendiri yang bertanggung jawab untuk hidupnya.

Hembusan nafas yang hangat itu kembali menerpa wajah Ayana, membuatnya semakin menunduk dan terlihat sangat ringkih jika ada yang tak sengaja melihat mereka disana. Walau sangat ingin, ia tak berani menatap sepasang obsidian itu secara langsung.

Kafiel terlalu mengintimidasinya dengan tatapan memburu tanpa henti. Itu membuatnya berada di ujung jurang terjal yang menakutkan. Jantungnya berdegup kencang sepanjang kedekatan mereka. Ia tidak bisa berbohong perihal perasaannya yang masih utuh.

Semua tergambar jelas di wajahnya, dan ia sangat yakin kalau Kafiel bisa melihat itu semua.

Jujur saja ia mencintai laki-laki itu, tapi apakah kenyataan akan—

Pikiran Ayana yang berpetualang jauh, kembali ke kenyataan saat merasakan Kafiel menarik pinggangnya dengan begitu lembut.

Apa yang terjadi? Aya tidak mengerti, ia memberanikan diri untuk menatap bola mata hitam milik Kafiel. Sebelum mulutnya bertanya, Kafiel malah tersenyum dan menggeleng ringan.

"Aku kedinginan. Tubuh kamu cukup hangat."

"Aku kira kenapa...."

"Ini yang ketiga kalinya kamu bicara." Kafiel terkekeh.

Aya ikut tersenyum, bercampur rasa getir yang menyelimuti hatinya.

Lihatlah sekarang, pria yang duduk di atas kursi roda di bawah guyuran hujan itu masih bisa tersenyum. Seluruh tubuhnya bahkan sudah basah kuyup. Membuat kaos hitamnya ikut basah. Dia tidak memakai jaket seperti biasa. Hanya kaos oblong dan celana training panjang berwarna abu-abu.

Lihat, Aya suka pemandangan seperti ini. Dimana Kafiel terlihat lebih tampan berkali-kali lipat ketika rambutnya yang basah jatuh dan menutupi sebagian dahinya. Bulu matanya yang lebat terlihat sangat indah. Dia pahatan Tuhan paling sempurna. Aya seharusnya jadi gadis paling beruntung.

Oh, tidak! Gadis itu mulai merasa ada sesuatu yang salah dari kakinya. Ah tidak seharusnya kakinya sakit dalam keadaan begini. Ia menggerakkan kakinya sedikit. Ah, rasanya sangat sakit.

"Kaf...."

"Hm." Laki-laki itu malah membenamkan wajahnya diperpotongan leher Aya. Ia bisa merasakan betapa dinginnya kulit wajah lelaki itu.

"Kaki aku kram ... lagi." Ia tak yakin, tapi sepertinya memang iya.

Kafiel langsung melotot, terkejut bukan main. "Kita agaknya terlalu lama kehujanan. Kamu kedinginan? Sayangnya aku tidak bawa jaket." Ia merasa bersalah.

Pria yang melupakan rasa sakitnya itu pun, mengusap kaki Aya dengan kedua tangannya. Mentransfer kehangatan ke kaki gadisnya.

"Kaf, udah." Aya berujar. Ia sangat terharu, tapi Kafiel tidak dalam kondisi harus memperhatikan kesakitan orang lain.

"Terus bagaimana? Kamu bisa jalan? Seharusnya aku memperhatikan ini sejak dulu. Sepertinya ini emang masalah serius."

Di tengah guyuran hujan itu, dua anak manusia itu masih bisa mengobrol santai, agaknya dunia memang jadi milik berdua.

The Crown || Lee Jeno [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang