12. Color and Promise

20 2 0
                                    

•••

Pagi berikutnya....

"Sean, makan yang banyak!"

Dian meletakkan telur dadar ke dalam piring Sean. Bocah itu hanya mengangguk. Sebenarnya ia cukup senang karena setelah sekian lama ada yang memperhatikan porsi makannya. Sudah lama ia merindukan perhatian seperti itu.

Meski Aya cukup perhatian selama ini sebagai seorang kakak, tapi tetap saja Aya belum memiliki jiwa keibuan dimana Sean bisa membagi segala dukanya pada Aya.

Dan kini, gadis itu tengah menatapnya tajam. Memperlihatkan ketidaksukaannya karena bisa langsung menyesuaikan diri dengan Dian.

"Kamu ada les hari ini. Jadi jangan lupa makan bekal. Untuk uang saku, Tante sudah masukan ke dalam tas." Dian berujar, kemudian memasukkan kotak nasi dan sebotol minuman ke dalam tas Sean.

Mendengar hal itu Sean melotot, melihat Dian dan tasnya secara bergantian. Ia tampak bingung. "Bagaimana Tante tahu?"

Dian tersenyum, mengacak rambut bocah itu dengan gemas. "Tante sudah mempelajarinya. Jadilah anak yang pintar." Dian mencium dahi anak itu beberapa kali.

Sean hanya membeku. Perlakuan yang begitu manis, pikirnya. Tak pernah ada orang yang berlaku manis seperti itu padanya sebelumnya. Dan bolehkah ia sedikit saja memberikan hati pada Dian walau Aya tak suka perempuan itu. Ia rasa tak ada salahnya. Toh masa lalu juga sudah terjadi.

Kehidupannya sudah terlampau hancur, doanya kini di ijabah pencipta. Iya, ia pernah berdoa agar dikirimkan ibu yang baik seperti ibu teman-temannya.

"Aya kamu nggak makan?"

"Aku nggak lapar."

"Sedikit saja."

Aya sudah lebih dulu pergi. Meninggalkan rumah dengan tidak sopannya.

Prang!

Prang!

Prang!

Entah bagaimana Aya jadi suka bunyi yang dikeluarkan kaleng bekas minuman itu. Ia menelusuri jalanan dengan malas.

Sengaja menolak ajakan Dian untuk mengantarnya ke sekolah. Ia belum bisa menerima perempuan itu dalam hidupnya. Berbeda dengan Sean yang mulai nyaman.

Sialnya lagi ia juga menolak uang saku dari Dian. Padahal ia sudah kehabisan uang beberapa hari yang lalu. Seharusnya akhir bulan ini ia sudah bisa menarik uang, jika saja keadaannya masih seperti sebelumnya.

Meski Akson terlihat benar-benar menjengkelkan, setidaknya ia tidak pernah lupa untuk menafkahi keluarga. Dari banyaknya alasan untuk melaporkan Akson ke polisi, uang menjadi salah satu laporan itu tak pernah sampai ke tangan polisi. Akson masih tetap ATM berjalannya, tapi kini lelaki itu entah kemana perginya.

"Tumben lewat sini? Lo pindah rumah? Mau bareng ama gue nggak? Kebetulan lagi kosong ini," racau Gabino.

Ia tak henti-hentinya memperlihatkan senyumnya yang indah dari balik helm. Eye smile nya kali ini terlihat lebih manis. Ia tampak menawan jika berada di atas motor merah itu.

The Crown || Lee Jeno [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang