20. Past

14 2 0
                                    


"Setiap orang tidak bisa membatalkan apa yang sudah terjadi, karena sedetik setelah kejadian adalah masa lalu."

-Ayana Blossom

•••

Sejenak setelah melihat mobil Kafiel yang berlalu pergi, Aya terdiam di tempat dengan tubuh kaku. Pandangannya mendadak nanar, kemudian kedua tangannya yang menggantung di sisi tubuhnya ikut gemetar, ia meremas tepian bajunya, lalu berjongkok sembari menutup mata. Berharap kejadian yang berlangsung beberapa menit yang lalu hanya sebuah mimpi.

Tapi, ia jelas melihat mobil Kafiel, ia belum buta sehingga tidak bisa mengenali mobil kekasihnya sendiri. Lagi, pria itu meninggalkannya. Ia tahu ia salah, tapi bukankah semuanya harus dibicarakan baik-baik. Beri ia kesempatan untuk menjelaskan. Keadaan seperti ini menyiksanya, dan Aya tidak suka.

Oke, Aya benar-benar tak menyangka bahwa lelaki yang dianggapnya luar biasa itu akan berlaku seperti ini. Aya mengusap wajahnya, ia mulai pusing.

Entah karena hawa dingin yang serasa menusuk ke tulang atau karena ucapan Kafiel yang menembus ulu hati atau karena debaran dadanya yang serasa disayat, ia tak tahu pasti yang mana penyebab dirinya menyatukan mulut diantara kedua tangan yang bertaut kencang.

Lama ia menatap kosong ujung sepatunya. Hingga sampai titik fokusnya beralih pada ujung sepatu seseorang di depannya. Aya tak menunjukkan reaksi apapun. Ia hanya pasrah jika ada seorang pencuri atau pembunuh yang ingin menyerangnya sekarang.

Akhirnya, saat tangan seseorang itu menyentuh kedua bahunya, Aya menengadah cepat-dengan sorot mata yang kacau. Ia mendapati lelaki yang balik menatapnya, tidak ada ekspresi yang dominan sehingga Aya tidak bisa menembus hati lelaki itu.

Namun, wajahnya jelas bercahaya seperti bulan dimalam hari. Ia menunduk semakin mendekat, seirama dengan tubuhnya.

Setelahnya, aroma mint pria itu menghantam tubuh Aya karena jarak mereka yang semakin terkikis habis. Lalu, pria itu menangkup wajahnya dan menyatukan dahinya, hingga hidung mereka ikut bertaut. Tangannya ikut bergeser memegang tengkuk Aya, pelan-ia memejamkan mata.

Sebut saja pria itu telah berhasil menaklukkan Ayana. Hingga gadis itu memilih tersesat dalam pesona pria yang membuatnya betah berlama-lama.

"Tubuh kamu dingin." Elusan jarinya pindah menuju sisi pipi. "Masu, Aya. Nggak baik diluar ruangan malam-malam begini."

Tangan kekarnya mengelus kelopak mata Aya yang mulai memanas. Ia membuka mata dan menemukan gadis itu menatapnya dengan tatapan campur aduk, marah, kesal dan yang paling jelas adalah rindu.

Meski tatapannya masih sekosong yang tadi, pria itu tampak berusaha menyunggingkan senyum di wajahnya.

"Kaf ... aku pikir aku bakal kehilangan kamu lagi."

Anak itu, Kafiel. Hanya menggeleng tanpa mengehentikan usapannya pada pipi Aya.

"Tidak Kaf, jangan pergi!" Aya menjatuhkan kedua tangannya pada punggung tangan Kafiel, meremas tangan yang lebih kokoh dari tangannya itu.

"Masuk Aya. Pastiin besok kamu ada di sekolah."

"Aku mintak maaf. Aku salah, aku tahu itu. Maafkan aku."

The Crown || Lee Jeno [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang