24. After

14 0 0
                                    

•••

Gadis itu. Ayana Blossom Alice. Di sebuah ruang besar ia termangu, terhipnotis dalam kebisuan paling menyesakkan dada. Yang ia tidak pernah mengerti sama sekali, kenapa ia selalu punya banyak deretan penyesalan dalam hidupnya.

Contohnya seperti saat ini, saat dimana ia sudah sampai di rumah Gabino, bertemu dengan pembantu rumah ini dan minta tolong di antarkan ke lantai dua, tempat Gabino bermalas-malasan di dalam kamar.

Dan kenyataannya, anak itu malah tidur di ruang kosong hampa pernak-pernik yang biasa di pajang di sudut ruangan atau di tembok.

Matanya hanya menangkap beberapa objek yang tidak menarik sama sekali, seperti cermin besar yang memantulkan kembali tubuhnya, ia bisa lihat betapa berantakannya ia dengan rambut yang tidak diikat rapi, baju kaus hitam lusuh dan lagi-lagi dengan celana jeans mini yang membuatnya terlihat seperti gembel jalanan.

Ia menatap malas pantulan diri sendiri, dan memutuskan beralih pada wajah teduh dan pemilik senyum manis yang tengah tertidur di atas sofa empuk berukuran besar, satu-satunya sofa yang ada di ruangan ini.

Cahaya matahari sore tanpa permisi masuk melalui kaca hingga mengenai dahi Gabino. Seperti tidak memberi pengaruh apapun, anak remaja dengan bulu mata tebal itu tetap meringkuk dan terpejam dalam buaian mimpi.

Semoga saja ia mimpi indah sore ini.

Aya dengan langkah pelan mendekati Gabino. Jantungnya berdetak kian kencang karena takut, pasalnya pembantu tadi mengatakan bahwa Gabino akan sangat marah kalau tidurnya di usik.

Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi padanya jika anak itu terbangun karenanya. Mungkin saja ia akan di ekspor ke planet Pluto. Aya bergidik ngeri membayangkan nasibnya sendiri.

Tepat di depan Gabino yang separuh wajahnya tenggelam di atas bantal itu, ia duduk jongkok. Memperhatikan lamat-lamat raut wajah anak 18 tahun tersebut. Bibir tipis dengan pahatan sempurna, rahang tegas, mata tajam yang indah, senyum yang memabukkan, alis dan bulu mata tebal.

Untuk sesaat Aya benar-benar terhipnotis, Gabino yang dulu ia kenal sungguh berbeda dengan Gabino yang sekarang. Dulu anak itu berlari ke arahnya dengan pakaian lusuh, pipi sembab sehabis manangis dan mulut yang menggemaskan ketika bicara.

Kini ia tumbuh menjadi jelmaan yang begitu sempurna, dimana setiap gadis akan berlomba-lomba melempar diri padanya. Tapi, anak baik ini, meski seringkali membanggakan pada semua orang bahwa ia adalah seorang playboy yang termasyur, tidak sekali pun ia dibicarakan pernah berpacaran dengan gadis manapun.

Dia benar-benar aneh dan lucu secara bersamaan. Bagaimana bisa ia menyebut dirinya seorang playboy tapi tidak pernah tertarik pada seorang gadis.

Aya membiarkan dirinya tertarik lebih dekat pada Gabino, ia tidak sadar ketika jari-jarinya sudah menempel di jakun lelaki yang sedang tertidur itu. Cukup besar hingga membuat Aya menumpukan titik fokusnya di sana. Ah! Gabino yang tampan.

"Ngapain ke sini?"

"Hahh!!!"

Gadis itu terlonjak, dia terduduk dan menumpukan semua berat badan pada tangan. Matanya melotot dan napasnya tersengal, untung saja tidak ada keringat dingin yang membanjiri.

Sial! Ia seperti maling yang tertangkap basah sekarang. Lihatlah, anak lelaki itu menatapnya dengan tatapan mengejek dengan senyum yang melebar. Jika ia bertahan cukup lama dengan senyum seperti itu, mungkin saja mulutnya bisa robek.

"Hayoo, ngapain?" ucapnya dengan nada suara yang dipelankan.

Ia sudah duduk dan sedikit mencondongkan tubuh ke arah Aya yang masih tak bisa mengatur ekspresi.

The Crown || Lee Jeno [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang