8. Call Me Again

23 2 0
                                    

"Jika ada hal yang tidak bisa dibeli dengan uang, salah satunya adalah kasih sayang Mama."

-Aya

Song Recomendation :
Breathe (Lee Hi)

෴⁠ ⁠༎ ༎ ༎ ⁠෴

Aya melangkah, membuka gerbang, mempertebal senyuman. Matanya menyapu sekitar. Dulu, dulu sekali Mariana pasti menyambutnya dengan penuh cinta di depan gerbang. Mencium pipinya hingga ia merasa muak sendiri.

Kini, tak ada yang menyambutnya, ia menginjak tangga satu persatu. Perlahan, bayangan-bayangan masa lalu memenuhi ingatannya.

"Ma! Berhenti melakukan hal bodoh itu! Aku sudah besar! Jadi tidak perlu cium-cium!"

"Ma, pokonya aku tidak mau pulang kalau Mama menunggu di gerbang dengan ciuman memuakkan itu!"

"Ma, aku malu sama teman-teman, Ma! Jadi berhenti mencium aku di hadapan mereka!"

"Ma, jangan cium-cium! Aku jadi risih!"

"Ma, aku sudah dewasa, Jangan dipeluk!"

"Aku sudah bisa makan sendiri, jadi Mama tidak perlu suruh-suruh!"

"Mama bawal deh, aku akan mandi kok, tapi bentar lagi!"

"Mama aku nggak lapar!"

"Mama terlalu bawel! Terlalu ngekang-ngekang! Mama kuno! Mama gak kekinian! Mama gak nggak ngertiin aku! Aku jadi malu sama teman-teman! Jadi Mama nggak perlu ikut pertunjukan aku!"

Kini, semua hal yang indah di masa lalu itu telah berakhir. Keindahan telah meninggalkannya sejak lama, hingga ia lupa kapan keindahan itu melambai untuk terakhir kali padanya.

Jika saja mesin waktu itu ada, mungkin ia bisa kembali ke masa itu, memeluk ibunya setiap saat. Mencium pipinya setiap menit. Tersenyum padanya sepanjang hari. Tanpa perlu mengatakan hal-hal konyol tentang ia yang tak membutuhkan ibunya.

Waktu memang raja yang menyebalkan. Ia dengan mudah mengubah segalanya. Kini ia sadar, tak ada yang lebih baik dari kasih seorang ibu. Membayangkan betapa beruntungnya ia dahulu membuat ia merasa tak sanggup menghadapi hari esok.

Hidup sangat melelahkan baginya. Tapi apa yang bisa dilakukan gadis itu, hidup menyedihkan seperti itu pun bukan pilihannya. Jika saja saat dalam kandungan Tuhan menyuruhnya menulis takdir sendiri, maka mungkin ia akan memilih menjadi seorang anak dengan keluarga yang harmonis. Berkelimpahan uang dan hidup dalam ketenangan.

Bukan seperti saat sekarang yang ia jalani. Punya Ayah yang suka bermain perempuan dan berlumuran minuman keras. Keadaan Ibu yang mengenaskan dengan kejiwaan yang sudah tidak stabil, bahkan untuk mengenali anak yang pernah ada di kandungannya pun ia sudah tidak bisa. Menyedihkan bukan.

Dari luar, tampak seperti keluarga kaya raya berkelimpahan harta. Tapi bagi pemilik rumah sendiri ia seperti berada di neraka. Sepi menemani malamnya. Pukulan-pukulan yang dihantamkan ke tubuhnya harus berkali-kali ia tahan. Tak ada yang akan berubah, jikalau pun ia menjerit memaki-maki Tuhan dan seluruh isi bumi. Ia memutuskan menyerah pada takdirnya sendiri.

"Ma! Aku pulang," paraunya, membuka pintu utama. Ia menghela napas, mengingat tak ada yang merespon.

Sempat mematung, meratapi nasib yang begitu menyebalkan. Ruang besar yang gelap itu serasa hampa udara. Jika sudah masuk ke rumah itu rasanya sangat sesak. Seolah belati menghantam tubuhnya terus-menerus.

Kakinya melangkah ke arah jendela, menyibak gorden hitam itu. Membiarkan cahaya masuk. Ia melirik jam tangannya. Masih jam empat sore. Ini bukan jam pulang Sean. Anak itu pasti pulang jam enam sore.

The Crown || Lee Jeno [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang