35. Farewell In Tears

20 1 0
                                    

•••

Hening.

Aya sibuk melihat langit tanpa bintang. Ia sepenuhnya menyenderkan kepala di sisi kaca mobil. Tak ada yang terlintas di pikirannya saat ini. Hanya saja langit gelap itu terlihat menyedihkan.

Beberapa kali ia menghela napas berat, bersama dengan pikiran yang entah kemana. Ia tidak ingin bicara dengan Kafiel, sama sekali tidak berminat. Pikirannya mati dan hatinya kecewa.

Tidak ada pertanyaan untuk Kafiel ataupun kalimat-kalimat omong kosong agar membuat lelaki itu tetap ada di sisinya.

Itu suatu kemustahilan.

Baginya saat ini, Kafiel hanya lelaki aneh, tidak dengan daya tarik seperti biasa. Meski perasaannya terbilang sama, tapi
susananya sudah sangat berbeda.

Tidak ada lagi Ayana yang merindukan Kafiel si lelaki paling hebat. Tidak ada lagi Ayana yang mengharapkan Kafiel. Atau Ayana yang selalu ingin menetap wajah Kafiel dan selalu bersemangat pada setiap cerita lelaki itu.

Dulu, semua hal yang dilakukan Kafiel terlihat sangat menarik, sekarang peduli pun ia tidak.

Lihat, lelaki itu kini seperti orang bodoh. Setelah berhasil memaksa Aya masuk ke dalam mobilnya ia tidak berniat pergi dari tampat itu. Beberapa kali Aya mengatakan agar cepat menjalankan mobil, tapi ia kukuh menahan Aya di tempat, beralasan kalau ia sedang mengeringkan ponsel Aya.

Gadis itu diam saja, ia sudah sangat lelah berdebat dengan Kafiel. Di tambah lagi air mata lelaki itu tak henti-hentinya mengalir. Benar-benar pria idiot, pikirnya.

"Jangan buat orang khawatir. Kamu harus selalu aktifin hape. Itu sesuatu yang harus kamu biasakan!"

Ia menceramahi dengan suara bergetar. Matanya masih fokus pada ponsel yang sadar atau tidak, sudah kering dari beberapa menit yang lalu.

"Jangan telat makan. Badan kamu kelihatan lebih kurus dari sebelumnya!"

"Bentar lagi ujian, kamu harus dapat nilai bagus biar diterima pas daftar masuk universitas."

"Kamu harus tumbuh dengan cantik, Aya. Hidup bahagia, selalu tersenyum dan tinggal di tempat yang nyaman."

Dan laki-laki itu terus saja meracau. Rangkaian kalimatnya seperti salam perpisahan, seakan-akan ini adalah pertemuan terakhir mereka.

Hati Aya bergetar, tapi matanya tidak lagi mengeluarkan butiran kepedihan itu. Ia sudah selesai menangis.

"Boleh aku peluk kamu?" Kafiel tampak ragu.

Aya diam, ia larut dalm kebisuan. Sebelum akhirnya Kafiel menghambur dan memeluk tubuh ringkihnya. Menyembunyikan gadis yang terlalu baik untuk semesta itu di dalam tubuhnya yang kekar.

Rasanya ia ingin menyembunyikan Aya. Meski tubuh itu terasa kecil ketika di dekap, tetapi mampu membuat jiwa dan raganya menghangat. Bahkan tanpa aroma parfum mahal dan hanya sabun biasa, tapi wangi tubuh Aya selalu membuat pikirannya tenang.

Kafiel mengendus aroma tubuh yang khas itu dan menyembunyikan wajahnya di perpotongan leher Aya. Membiarkan dirinya tenggelam di sana. Tanpa disadarinya air matanya jatuh mengenai kulit putih sang gadis. Membuat Aya tersenyum kecut dan semakin membuang pandangannya ke langit tinggi. Ia masih tak bergerak, diam dan kaku.

Lama dalam keheningan, gadis itu membuka suara.

"Aku kira kamu lebih paham dari aku. Bahwa kebahagiaan gak selalu tentang materi dan hal-hal yang berbau kemewahan."

Kafiel melepaskan pelukannya. "Bukan begitu-"

"Lalu apa? Kamu dengan seenaknya menukar perasaanku dengan benda mati yang bahkan tidak jauh lebih berharga dari kebersamaan kita."

The Crown || Lee Jeno [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang