34. I Hopeless Place

18 2 0
                                    


Song Recomendation:
Mampukah Aku ( Ira Batti )

•••

Waktu terus berlalu, sementara keduanya tidak membicarakan apapun. Hanya saling tatap yang sama-sama dipenuhi oleh seribu pertanyaan. Mereka terjebak dalam kebisuan panjang yang kemudian diakhiri oleh Gabino yang berdehem, lelaki itu dari tadi tak memutus pandangannya dari Aya dan Kafiel yang duduk berhadapan.

"Sekarang jam lima sore, lo berdua bicarin apa yang perlu diselesain. Biar suatu hari gak ada penyesalan." Lelaki yang menjadi penengah itu memulai.

"Keknya gak yang perlu dibicarain lagi." Aya bersuara dengan mata yang masih fokus pada Kafiel.

Gadis itu bisa melihat ketika Kafiel menghela nafas berat seusai mendengar ucapannya.

Kemudian, laki-laki dengan nama besar di belakangnya itu menatap lekat botol-botol minuman kalengnya di atas meja yang sudah tandas.

Ia tersenyum miris, membayangkan bagaimana penatiannya berakhir dengan mendapatkan tatapan dingin dari Aya. Dua jam ia menunggu di kafe ini, dan butuh waktu lama untuk meyakinkan Gabino agar membujuk Aya dan membawa gadis itu ke hadapannya.

"Aku minta maaf."

"Kita selesai sejak hari itu. Jadi baik aku maupun kamu hari ini dan seterusnya, hanya dua orang asing yang gak ada hubungan lagi." Aya berkata tegas, seperti biasa. Menatap Kafiel mantap, meski hatinya saat ini tidak sekuat tatapannya.

"Untuk Tanya ... itu kemauan Papa dan kita ... untuk kita aku minta maaf."

"Kaf!!! Untuk apa?" Aya berdiri. "Untuk apa semua ini?! Supaya aku berharap lagi? Begitu? Cukup, Kaf!" Ia naik pitam.

"Aya, aku akan tunangan." Bersamaan dengan itu Kafiel menyodorkan sebuah undangan.

Aya meremas ujung kemejanya, memalingkan wajah dan menutup mata. Ia rasa, Kafiel kali ini sungguh keterlaluan, mereka baru putus beberapa hari yang lalu, tetapi laki-laki itu bertingkah seperti sudah melupakannya.

Dulu, semuanya begitu indah. Namun pada akhirnya tak ada kebahagiaan yang tersisa untuknya, Kafiel menyakitinya terlalu banyak.

"Kamu berharap aku datang?"

"Ini juga nggak mudah untuk aku, Aya."

"Tapi kamu melanjutkan hidup."

"Itu harus, dan kamu juga harus."

"Setelah berjanji akan menghadapi masa depan bersama, bagaimana mungkin kamu biarin aku berjalan sendirian, Kaf?"

"Aya-"

"Makasih untuk luka yang kamu berikan."

"Aku ingin kamu bahagia."

"Tapi tidak tanpa kamu! Begitu?"

"Andai aku bisa, aku mung-"

"Andai! Andai! Andai! Semua yg kamu bicarakan dari dulu sampai detik ini gak lebih dari angan-angan kosong yang gak ada artinya sama sekali, Kaf!"

"Maaf."

"Maaf? Omong kosong!" Aya memalingkan wajah jengah.

Adakah yang perlu dikatakan, meski Aya tahu bahwa perasaan itu utuh tak tersentuh sama sekali.

Sekarang coba jelaskan, bagaimana mungkin ia melupakan Kafiel dalam hitungan hari, ia bukan gadis yang dengan mudah menukar kenangan yang telah terbentuk dengan rasa sakit yang kadang bisa menghapus rasa.

The Crown || Lee Jeno [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang