•••Satu bulan kemudian....
"Pa!"
Aya berlari mengejar Akson yang berjalan menuju tangga. Langkah lelaki itu berhenti, ketika panggilan sakral dari Ayanya kini kembali terlontar.
Baginya panggilan itu cukup langka, sebab jarang sekali ia mendengar Aya memanggilnya dengan panggilan itu selama sepuluh tahun terakhir ini.
Akson tersenyum puas, menarik napas seperti terbebas dari penjara.
"Keputusan papamu ini sudah bulat Ayana. Jadi jangan membantah."
"Kenapa tidak izin dulu?" Aya mulai geram.
"Untuk apa butuh izin darimu? Apa kau pernah minta izin ketika membuang Sean ke panti asuhan? Apa kau pernah minta izin ketika melempar mamamu ke rumah sakit jiwa? Tidak, Ayana! Kau bertingkah sesukamu!"
Akson mengurungkan niatnya ke atas. Kini ia melangkah menuju Aya dengan tatapan mendikte inci demi inci tubuh gadis itu. Membuat yang di tatap menciut.
"Apa Papa pernah merasakan bagaimana kerasnya hidup aku? Apa Papa pernah melakukan semuanya sendirian? Apa Papa pernah melihat aku sekali saja dengan rasa kasihan? Apa Papa pernah putus asa? Apa Papa pernah memahami perasaan aku? Nggak, Pa. Bahkan di rumah yang rasanya hampir tidak ada kenangan ini, aku masih dengan naifnya ingin bisa bahagia dengan Papa dan Mama suatu saat nanti."
Tanpa sadar, Akson benar-benar terhipnotis dengan kalimat itu.
"Pa, aku dan Sean mau tinggal dimana kalau Papa menjual rumah ini? Meski nggak hidup dengan layak, setidaknya kami masih punya tempat pulang."
Aya menatap Akson penuh harap. Ia sangat ingin lelaki itu kali ini menggunakan hatinya. Meski ia ragu, apa lelaki itu masih mempunyai hati.
"Andai saja, kita nggak seperti ini. Mungkin saja Papamu ini nggak akan menghancurkan sesuatu yang seharusnya berjalan dengan baik. Tapi, Ayana. Hidup sudah kejam dari awal dan aku tidak ingin tenggelam sendirian."
Akson memberi jeda. Menarik napas dari segala sudut. Rasanya ruang besar itu terasa menyesakkan dada.
"Usahaku kali ini gagal. Untuk menutupi hutang, rumah ini satu-satunya cara. Tapi sungguh, aku tidak pernah berniat menghancurkan kita sejauh ini."
Ayana membelalak, meremas surat rumah di tangannya yang sedari tadi diberikan Akson. Ia kacau, tak tau harus berbuat apa, hingga ia kembali membuka kertas itu dan merobeknya.
"Kau puas?" Ayana maju, berniat melempar kertas tak berbentuk itu di depan wajah Akson. Sayangnya Akson lebih dulu menangkis tangannya.
"Kau pikir aku masih punya uang untuk membeli rumah besar? Kau pikir restoranku masih milikku? Begitu?"
"Itu karena Papa mendapatkannya dengan uang haram! Makanya jangan suka berjudi! Lihat, karena ulahmu kami juga ikut susah! Lain kali tolong ya, kalau pengen hidup susah jangan bawa-bawa anak!"
"Selama ini kau hidup mewah karena aku! Jangan berani melawan!"
•••
"
Apa Papa pernah merasakan bagaimana kerasnya hidup aku? Apa Papa pernah melakukan semuanya sendirian? Apa Papa pernah melihat aku sekali saja dengan rasa kasihan? Apa Papa pernah putus asa? Apa Papa pernah memahami perasaan aku? Nggak, Pa. Bahkan di rumah yang rasanya hampir tidak ada kenangan ini, aku masih dengan naifnya ingin bisa bahagia dengan Papa dan Mama suatu saat nanti."
"Pa, aku dan Sean mau tinggal dimana kalau Papa menjual rumah ini? Meski tidak nggak hidup dengan layak di rumah ini, setidaknya kami masih punya tempat pulang."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Crown || Lee Jeno [✓]
Teen FictionKafiel Epsilon Young. Anak tunggal yang lahir dari rahim wanita berkebangsaan Inggris. Menjadi orang yang kehidupan pribadinya cukup disorot di negri ini. Semua media berita menulis namanya dengan bangga. Anak pengusaha itu selalu menjadi topik pali...