21. Rain

14 1 0
                                    

"Setiap kali hujan turun ke bumi, aku ingin menangis di dadamu, dan mengatakan betapa hebatnya hidupku."

-Ayana Blossom

•••

Aroma khas pohon pinus menguasai setiap sudut, bunga lilin tumbuh dan mekar sangat indah. Di lapangan hijau kelas XII IPA.1 tampak meregangkan tangan, sebuah rutinitas wajib sebelum olahraga, pemanasan yang akan berakhir di atas rumput. Karena jujur saja, tanpa pengawasan guru, semua kegiatan tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh.

Beberapa gadis terlihat menyombongkan jam tangan atau aksesoris lainnya, sementara kaum pria lebih sibuk bertengkar dan adu otot. Aya yang duduk di atas bangku di bawah pohon hanya tersenyum memperhatikan.

Bukan memperhatikan semuanya, hanya Kafiel seorang, ia terlihat serius dan tak ingin diajak bercanda. Meski beberapa kali Gabino menggoda atau Felix yang melemparinya dengan batu kecil. Anak laki-laki itu juga tak melirik ke arahnya sama sekali.

Ia memang tak bergabung untuk berolahraga pagi ini, kejadian di ruang ganti pakaian tadi membuat tubuhnya tidak bersemangat. Senyumnya jadi memudar seketika, pandangannya buram dan pikirannya melayang jauh.

Angin bertiup kencang, menerbangkan dedaunan kering. Langit kota Jakarta terlihat begitu damai dengan awan yang berarak pelan ke Utara.

Sementara pikiran gadis itu masih bertengkar, memperdebatkan perihal kenyataan dan keinginan. Jika kenyataan telah menentukan pilihannya, lantas bagaimana dengan inginnya. Haruskah ia berdiam diri saja, melihat satu persatu kenyataan merenggut harapan yang telah ia tata sedemikian rupa.

Dinding penghalang antara ia dan Kafiel begitu tinggi, ia tidak tuli ketika orang- orang membicarakannya di sudut kelas, mengatakan bahwa ia sama sekali tidak cocok untuk menjadi pasangan Kafiel.

Tapi toh selama ini ia tidak peduli dengan semua itu. Lagi pula, Kafiel mencintainya dan ia mencintai anak itu. Bukankah bagian tersebut sudah cukup untuk membangun sebuah hubungan, begitu yang ia pikirkan setiap kali semua orang menertawakannya.

Tidak ada yang salah dengan cinta, tapi mengapa semua orang mempermasalahkannya. Seperti cinta ini mengandung dosa besar yang tak seharusnya ia ambil sebagai resiko. Jika perbedaan sosial yang mereka bicarakan, kenapa cinta harus tumbuh pada seseorang yang tak seharusnya. Seharusnya cinta lebih tahu diri sebelum menjatuhkan perasaan ke siapa bukan.

"Apa sudah mendingan, Ayana?"

Pertanyaan Pak Redi membuyarkan lamunan Aya. Ia melirik ke arah guru olahraga yang ada disampingnya tersebut, membalas senyum hangatnya.

"Kalau kamu masih pusing, bisa langsung ke UKS. Istirahat disana." Ia kembali tersenyum dan memberikan sekotak susu dan dua bungkus roti. "Ini, Bapak beli di kantin tadi."

Ia butuh sedikit waktu sebelum menerima pemberian guru olahraga yang berumur tiga puluh lima tahun tersebut dan mengucapkan "Terimakasih" diikuti dengan senyuman manis.

"Bapak pergi dulu." Pak Redi melangkahkan kaki menuju lapangan, tangannya mengambang di udara dikuti dengan tepuk tangan agar anak-anak memperhatikan dan fokus.

Semuanya tampak kembali fokus, bersikap normal dari seperti sebelum Pak Redi datang. Guru olahraga berbadan tegap itu mengintruksi para lelaki agar membentuk dua kelompok untuk tim basket.

The Crown || Lee Jeno [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang