17

6K 321 7
                                    

*****

"Bun, hp Abang mana?" Tanya seorang laki-laki yang baru datang dari kamar mandi dengan menggunakan sarung andalannya.

"Oh, ini. Tadi Syahla habis nelpon di handphone Abang, jadi Bunda pinjem dulu handphonenya.

Ali mengerutkan dahinya. Benar, Ali-lah laki-laki itu. "Tumben?" Gumamnya.

"Kok tumben? Kan biasanya juga gitu. Kaya gak tau aja adeknya gimana."

"Y-ya bukan gitu. Maksud Abang kan malem-malem gini, tumben. Biasanya Ala kalo nelpon itu pagi-pagi aja." Ujar Ali kemudian mengambil ponselnya dan memainkannya. Ia duduk disebelah Salha yang tengah menonton tv di ruang tengah.

"Ngomongin soal apa?" Tanya Ali tiba-tiba tanpa mengalihkan pandangannya. Entah mengapa lelaki itu tiba-tiba ingin tahu.

"Itu, Ala mau bantu temennya. Kasian, dia punya masalah sama keluarganya, sampe-sampe dia terpaksa buat berhenti mondok di pesantren milik Kyai Syarif. Jadi Ala ada niat mau bantu dia. Ala nawarin dia biar lanjutin mesantren disini, sekalian nemenin Bunda disini. Dia kebetulan temen deket Syahla juga, namanya Intan." Papar Salha seraya menonton tv.

Ali bergumam paham seraya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mencerna perkataan Bundanya sekali lagi, sebelum detik berikutnya ia menyadari sesuatu. Ia yang tadinya fokus dengan ponselnya pun, kembali menatap Bunda Salha terkejut.

Salha yang merasa putranya menatap dirinya pun, ikut menatap Ali. "Kenapa?" Tanyanya.

Menormalkan ekspresinya dengan perasaan salah tingkah, Ali menggelengkan kepalanya cepat. "Oh e-enggak." Jawabnya terbata.

Salha kembali fokus ke layar tv tanpa rasa curiga.

'Intan?' Batin Ali.

"Bunda udah ngantuk. Abang kalo mau lanjut nonton tv, jangan lupa matiin ya, sebelum ke kamar." Ujar Salha. Ali mengangguk singkat.

*****

"Jadi gimana? Lo udah mantep?" Syahla menanyakan kembali kepada Intan tentang permasalahan kemarin.

Intan masih tampak termenung sejenak. Ia benar-benar bingung sekarang. Di sisi lain ia masih ingin mengaji dan mengabdi di pesantren ini. Namun, karena hal lain ia terpaksa untuk tidak menuruti egonya.

"Sebenernya gue bisa aja minta tolong ke si Agus buat adain beasiswa semacam kaya Lo ini. Lagian Lo pinter, sayang banget kalo gak dimanfaatin buat dapet beasiswa. Tapi kembali lagi, pesantren ini juga bukan milik gue, gue gak berhak buat ngatur-ngatur."

Intan menautkan jarinya. Pikirannya sedang tidak karuan.

"Mau dimana pun sama sebenernya. Gue bukan ngebandingin pesantren disana atau disini. Gue cuma nyaranin, sekalian Lo temenin Bunda gue. Pelajaran disana sama kaya disini, soalnya Abang kalo berangkat kajian itu, bareng sama si Agus. Itupun tanpa sepengetahuan gue, makanya gue baru tau kalo si Agus ternyata udah kenal keluarga gue."

"Lo jangan khawatir gak ada temen disana, ada Bunda dan ada Abang juga yang bakal ngelindungi Lo dari syaiton-syaiton pondok." Ujar Syahla seraya terkekeh. "Gue juga bakal jenguk Lo, walaupun nggak terlalu sering." Lanjutnya.

"A-aku takut. Apa yang harus aku lakuin kalo mama nyari aku? Aku harus jawab apa kalo mama nanya? Aku takut..." Lirih Intan.

"Apa yang Lo takutin? Inget, Lo punya Allah. Allah selalu ngejaga kita, Allah selalu ada buat kita. Lo jangan panik, jangan khawatir, jangan sedih. Inget In, Lo yang sering nasehatin gue kalo gue yang lagi berada diposisi Lo saat ini. Apa lagi yang perlu ditakutin?" Tanya Syahla.

Azzam: Married By Promise (Revisi & End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang