38

3.5K 228 12
                                    

*****


Selang tiga minggu lamanya setelah acara lamaran Ali dan Intan. Usia kehamilan Syahla kini sudah menginjak jalan sembilan bulan. Mendekati bulan dimana ia akan menjadi seorang ibu, itu membuat perasaannya tidak karuan. Ia takut sekaligus senang. Takut karena Syahla berpikiran akankah ia masih hidup ketika bayi yang dikandungnya itu lahir? Bukan ia takut mati, tapi ia takut siapa yang akan menjaga anaknya nanti jika bukan dirinya? Walaupun Azzam akan senantiasa menjaganya, tetapi Azzam adalah seorang laki-laki. Perasaannya tidak sama seperti perempuan.

Di sisi lain ia merasa senang. Senang membayangkan rasanya menggendong anak, menimang, menyusuinya, dan terjaga dari tidurnya. Tanpa ia sadari, ketika ia membayangkan itu, ia pun tersenyum.

"Apa yang sedang kamu bayangkan?" Suara itu membuyarkan lamunan Syahla.

Syahla menoleh ke arah sumber suara. Tepat seperti dugaannya, orang itu adalah Azzam.

Azzam mendudukkan tubuhnya di sebelah Syahla dengan tangan menarik pinggang Syahla dari samping agar tubuh Syahla mendekat.

"Mas, kira-kira anak kita laki-laki apa perempuan ya?"

"Apapun jenis kelaminnya, Mas akan menyayanginya." Azzam menarik senyumnya.

Melihat senyum Azzam, Syahla pun ikut tersenyum. Sejenak ia memikirkan hal buruk yang ia takutkan akan terjadi, ia pun melunturkan senyumnya.

"Mas, eum, kalo misalkan aku gak selamat setelah melahirkan nanti, apa kamu mau mencari ibu baru untuk menjaga anak kita nanti?" Pertanyaan konyol terlontar begitu saja dari mulut Syahla. Itu yang ia takutkan. Rasanya tidak rela jika ruhnya melihat bagaimana anaknya nanti diperlakukan oleh ibu tirinya, kemudian Azzam tidak membela anaknya dan malah membela istri barunya. Ah, itu sangat buruk!

Azzam menajamkan matanya seolah tidak terima dengan perkataan Syahla. "Apa yang kamu katakan? Mas tidak akan membiarkan kamu kenapa-napa. Mas akan pastikan kamu dan anak kita selamat," jawab Azzam tegas.

Syahla diam-diam menahan senyumnya. "Tapi Mas, kalo emang takdirnya kaya gitu, apa Mas bisa melawannya?"

Azzam menarik nafasnya kemudian memejamkan matanya. "Tidak sayang, Mas tidak sanggup membayangkan hal itu."

Cinta memang harus rela kehilangan. Tetapi Azzam benar-benar tidak sanggup membayangkannya. Sebagaimana kisah Ali dan Fatimah, Ali yang begitu kuat mengangkat besi seberat ratusan kilo, tetapi mengangkat jasad seseorang yang begitu ia cintai, ia berubah menjadi seorang yang paling lemah. Ya, cinta dapat melemahkan seseorang.

"Tapi, Mas harus terima ya kalo itu terjadi. Karena umur kan gak ada yang tau. Mas juga tau, kalo semua orang pasti kembali ke asalnya, termasuk ak—"

"Sudah cukup sayang, jangan buat Mas takut." Azzam kembali menarik nafasnya. "Cari pembahasan yang lain, Mas tidak suka pembahasan itu."

Dalam hati Syahla tersenyum. Azzam tidak ingin kehilangan dirinya. Hatinya kemudian bertanya, apakah ia juga ada rasa takut kehilangan Azzam?

Kriing kriing

Suara nada dering yang berasal dari ponsel Azzam, menyita perhatian Syahla dan Azzam.

Azzam mengambil ponselnya yang terletak diatas nakas, kemudian mengangkat panggilan dengan nama 'Om Hariz' yang terpampang di layar ponselnya.

"Halo Om," Azzam membawa tangannya untuk mengelus kepala Syahla. Itu sudah menjadi kebiasaannya ketika sedang mengobrol atau berbicara dengan seseorang melalui telepon atau tidak.

"Oh benarkah? Alhamdulillah ..." Syahla seketika menatap wajah Azzam yang terlihat fokus mendengarkan suara seseorang.

"Baik Om, saya akan memberitahu Umi dan Abi." Azzam masih belum memutuskan panggilannya. "Waalaikumussalam," setelah berucap demikian, Azzam pun mematikan teleponnya.

Azzam: Married By Promise (Revisi & End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang