Pagi-pagi sekali ayah Dasha yaitu Pak Rion sudah mengajak Dasha untuk jalan-jalan pagi keliling komplek. Katanya ayahnya ingin menghabiskan waktu walau sebentar bersama putri keduanya itu.
"Bagaimana kabar mamamu?" Kemarin, Pak Ngah belum sempat bertanya perihal mantan istrinya tersebut.
"Kabar mama baik." Dasha tidak ingin memberi tahu lebih banyak tentang kehidupan sang mama jika tidak ayahnya sendiri yang bertanya.
Pak Rion mengangguk paham, "Bagaimana pendidikanmu?"
"Kuliah Dasha lancar."
"Biayanya?"
Pak Rion tahu biaya kuliah tidak murah, mencapai jutaan. Apalagi semenjak keduanya lost contact Pak Rion sama sekali tidak menghidupi Dasha.
"Mm.. Ada Papa," Dasha sempat ragu untuk menjawab.
Pak Rion menerima jawaban Dasha dengan jumawa. Bukan karena cemburu mantan istrinya menikah lagi tapi karena dia tidak bisa membiayai hidup anak keduanya itu.
Dasha dapat menangkap raut penyesalan di dalam hati ayahnya. "Ayah tenang saja," Belum sempat menyelesaikan kalimatnya Pak Rion sudah menyela terlebih dahulu.
"Maafkan Ayah, Dasha. Ayah menjadi ayah yang tidak bertanggung jawab."
"Ayah, sudahlah yang terpenting saat ini aku sudah menemukan ayah dan kakak itu adalah bagian terpentingnya."
Pak Rion merangkul anaknya, mereka kembali melanjutkan jalan pagi. Selain itu, Pak Rion juga membawa Dasha ke kedai yang dia kelola di dekat pantai. Karena jarak tempuh kedai dan rumah lumayan dekat sekitar lima belas menit dengan jalan kaki.
"Ayah semenjak pindah ke Bali bekerja sebagai seniman dan membuka kedai itu." Dari kejauhan, Pak Rion menunjuk kedai berwarna biru kepemilikannya.
Dasha dapat menangkap kedai berwarna biru yang di tunjuk oleh Pak Rion.
"Tapi Dasha penasaran yah, kenapa ayah memilih pindah ke Bali?"
"Ayah ingin memulai hidup baru, dimana tidak ada yang mengenal siapa itu Rion makanya ayah mengganti nama disini sebagai Pak Ngah."
Tidak hanya hidup yang dijalani Dasha dan Mama yang juga berat, tapi ayahnya juga. Perpisahan kedua orang tuanya tak lantas menjadi jawaban untuk membawa kehidupan yang lebih baik. Tapi sebagai anak Dasha menghormati keputusan yang diambil mama dan ayahnya biar bagaimana pun lebih baik berpisah daripada bertahan di atas rasa sakit.
Matahari sudah mulai meninggi, selesai membeli nasi bungkus untuk di buat sarapan pagi. Dasha dan Pak Rion kembali ke rumah.
Jae menyambut kehadiran Dasha dan ayahnya, "Dari jalan-jalan Pak?" Jae bangkit dari kursi tengah menuju ke dapur mengikuti arah Pak Ngah dan Dasha.
"Ayo makan dulu." Dibantu Dasha, Pak Ngah menyiapkan sarapan pagi di meja.
"Laura apa aku bawa kesini pak?"
"Biar bapak aja nanti yang menyuapi dia."
Sebenarnya Laura bisa makan di meja makan. Sakit yang dia derita juga tidak parah. Tapi saat kondisinya sudah kambuh Pak Ngah tidak ingin memaksa Laura untuk keluar terlebih dahulu.
"Mmm.. Yah bolehkah nanti Dasha yang membawakan makanan untuk kakak?"
"Tentu saja boleh."
Dasha tersenyum senang mendengar jawaban dari ayahnya. Seperti biasa saat makan hanya tersisa gesekan antara piring dan sendok karena Pak Ngah sendiri sudah terbiasa tidak ada obrolan saat makan maka Dasha dan Jae bisa menyesuaikan hal itu.
Dari ekor matanya masing-masing mereka dapat melihat bahwa mereka berdua saling curi-curi pandang. Perihal kejadian yang terjadi di teras rumah kemarin, sampai pagi ini mereka tidak ada obrolan mengenai kejadian waktu itu.
Untung saja saat itu, lampu teras remang-remang. Pak Rion juga tengah di kamar Laura membantunya untuk makan dan tidak ada satupun tanda-tanda tetangga berkeliaran malam-malam di sekitar rumah. Kalau sampai mereka berdua ketahuan sungguh akan merasa malu dan mungkin enggan untuk berkunjung kembali.
***
Dengan bantuan Jae, Dasha agak sedikit ragu kembali untuk menemui kakaknya. Dia teringat saat dimana sang kakak mendorongnya hingga terjembab. Bahkan Dasha sendiri tidak melihat kehangatan yang dulu kakaknya tunjukkan saat bertemu dengan dia.
Dasha menahan lengan Jae untuk melangkah, "Bagaimana jika kakak saja yang mengantar ini?" Ada gurat ketakutan di wajah Dasha.
Jae tersenyum menenangkan, "kalau kamu tidak menemui Laura lalu kapan lagi? bukannya kamu sudah sangat merindukannya?"
"Tapi aku takut, aku takut jika kakak memang benar sudah lupa denganku." Dasha mendunduk lesu.
"Mana dompet mu?"
"Dompet?" Dasha bingung.
"Disana ada foto dengan kakakmu bukan? Kamu bisa perlihatkan foto itu. Atau hal-hal yang mungkin bisa membuat kenangan itu muncul kembali."
Dasha mengangguk paham. Dia kembali ke kamarnya dan mengambil foto yang dia pajang di dompet tersebut. Meyakinkan dirinya agar bisa membuat kakaknya ingat tentang dirinya.
Jae membuka pintu kamar Laura, seperti biasa setelah selesai mandi Laura hanya termenung duduk di kursi dekat jendela. Saat pintu kamarnya terbuka Laura menengok terlihat sosok Jae dan perempuan itu.
Jae mendekat terlebih dahulu, "ayo makan pagi dulu."
Tak ada jawaban dari bibirLaura. Jae memandang ke arah Dasha menyuruh gadis tersebut masuk untuk menyerahkan nampan beserta piring di pangkuan Laura.
"Kamu bisa kan makan sendiri? Apa perlu di suapin?"
Laura hanya mengangguk. Setelahnya dia ambil sendok di piring tersebut dan menyendok satu nasi beserta lauk ke dalam mulutnya.
Jae memandang ke arah Dasha untuk memulai pembicaraan terlebih dahulu. Dasha mengambil satu foto dari arah saku jeans nya dan kembali bersimpuh di hadapan Laura.
"Kakak ingat foto ini tidak?" Dasha memperlihatkan foto tersebut ke arah Laura.
Laura memandang foto tersebut dalam-dalam. "Adik?" Dia meneteskan airmata lalu mengambil alih foto yang ada di tangan Dasha. Perhatiannya dia alihkan kepada Jae.
"Ini adiku." Laura menengok ke belakang ke arah Jae memperkenalkan adiknya yang berada di foto.
Jae tersenyum lantas menunjuk Dasha, "Dia adikmu, Dasha Iona."
Atensi Laura teralih menuju Dasha yang masih jongkok di bawah dan juga tengah terisak melihat kakaknya, "Ini aku kak, Dasha. Kakak ingat aku kan?"
Cairan bening menetes di pipi Laura dia meletakkan nampannya di kasur lantas ia berdiri dan ikut bersimpuh memeluk Dasha, "Adikku," Mereka berdua terisak bersama-sama dalam pelukan.
Jae sendiri yang menyaksikan adegan tersebut menjadi ikut pilu. Melihat bagaimana kakak adik ini melepaskan rasa kerinduan yang sudah lama mereka pendam.
Laura melepas pelukannya lantas dia meraih tangan Jae dan tersenyum kepada laki-laki itu, "Dia adikku Jae, aku menemukannya Jae." Ucap Laura dengan terisak.
Lantas Dasha memandang genggaman erat antara kakaknya dan Jae, dan tatapan teduh yang Jae berikan pada kakaknya. Dasha akui dia sedang cemburu, namun dia dengan cepat menepis hal itu.
Walaupun Jae tidak mengatakan secara gamang tentang perasaannya tapi bagi dia hal yang terjadi kemarin merupakan salah satu pembuktian setidaknya. Dirinya sendiri juga tidak ingin mempermasalahkan jika Jae belum juga mengutarakan perasaannya dia sangat paham bagaimana bimbang nya seorang Jae mencintai dua perempuan apalagi mereka satu darah.
To be continue
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Rasa | Jung Jaehyun (END)
FanfictionJae Hyuno Pradipta merupakan primadona dari anak FK. Dia cowok yang dingin namun itulah pesonanya yang membuat semua wanita menyukainya. Aktif di salah satu organisasi dan juga seorang asdos adalah nilai plus bagi Jae, yang merupakan sapaan akrabnya...