Sore ini langit tampak cerah berwarna biru. Dasha memandang ayahnya yang tengah bergelut dengan kuas dan kanvasnya. Perempuan itu enggan untuk mendekat dan memilih melihat dari arah kejauhan.
Senggolan tangan dari pria bertubuh besar hampir saja membuatnya ambruk kalau tidak pria itu dengan sigap memegang pinggangnya. Buru-buru laki-laki itu meminta maaf karena ulahnya.
Mereka terdiam, Dasha tak marah karena ulah Jae barusan karena baginya pemandangan di depannya inilah yang penting kapan lagi dia bisa melihat seseorang yang sudah lama dia rindukan. Memang benar kata Dilan bahwa rindu itu berat dan Dasha sudah menanggung hal itu setelah ratusan purnama.
Ia sendiri tak menyangka bahwa ayahnya itu masih bisa melanjutkan hobi yang sudah digemari semenjak belum menikah. Terkadang semesta dan hati manusia itu sama-sama aneh mamanya jatuh cinta dengan Papa karena kepiwaiannya dalam memoles cat warna di atas kanvas tapi perceraian mereka juga terjadi karena sebuah kanvas atas dasar ekonomi.
"Jangan dilihat dari sini mending kamu kesana." Saran laki-laki yang lebih tua dari Dasha tersebut yaitu Jae.
"Melihat dari sini lebih indah." Tukas Dasha.
Pak Rion menoleh ke arah ambang pintu rumah netranya menangkap Jae dan Dasha tengah berdampingan melihat ke arahnya. Lantas Pak Rion melambaikan tangannya untuk menyuruhnya mendekat.
"Kamu saja yang kesana, aku mau ke dalam." Jae berbisik tepat di telinga Dasha lalu kembali masuk ke dalam.
Sedangkan Dasha menghampiri ayahnya, dia tersenyum lalu duduk di dekat sang ayah. Mata Dasha menangkap berbagai warna di pallete dan juga tangan ayahnya yang terdapat coretan cat.
Tangan Pak Rion meliuk-liuk di atas kanvas yang tengah mewarnai goresan pensil yang sudah dia gambar sebelumnya. Dasha sangat bersyukur bahwa akhirnya ayahnya bisa melanjutkan mimpinya untuk fokus menggambar kembali.
Netra Dasha beralih kepada lukisan yang memperlihatkan gambar dirinya sewaktu dia kecil bersama kakaknya. Ada ide muncul di kepalanya ketika melihat lukisan itu, "boleh aku meminta tolong kepada ayah?"
"Apapun itu kalau bisa pasti ayah lakukan." Pak Rion meletakkan kuas di tangannya dan menatap Dasha penuh lekat.
"Bisakah ayah melukis Dasha kembali."
Mendengar hal itu wajah Pak Rion menjadi cerah. "Tentu saja, itu permintaan yang mudah."
Lantas Pak Rion menyingkirkan kanvas yang tadi dia gambar namun belum usai dan mengambil kanvas yang baru. Dasha sudah duduk manis di kursi yang dekat dengan jangkauan Pak Rion.
"Nanti kalau kamu sudah pulang sampaikan salam ayah untuk mama." Ucapnya di sela-sela menggambar.
"Tentu saja."
"Dan juga rumah ini akan terbuka lebar jika mama kamu ingin berkunjung kemari."
Di setiap goresan pensil di atas kanvas Pak Rion mengajak Dasha untuk mengobrol. Sambil menggores pensil di atas kanvas, Pak Rion menelusuri wajah anak keduanya. Dia sudah banyak ketinggalan momen kini dia bukan anak-anak lagi juga bukan seorang remaja tapi dia akan menjadi dewasa muda, untaian do'a tak pernah lupa Pak Rion panjatkan untuk putri kedua berharap dia akan selalu sehat tumbuh menjadi wanita cantik betapa rasa syukur sepertinya tak akan cukup melihat anaknya kini yang diberikan apa yang selama ini selalu dia panjatkan.
Dasha juga merasakan apa yang Pak Rion rasakan. Ayah yang dulu terakhir dia temui masih terlihat segar kini kulitnya sudah mulai menunjukkan penuaan dengan terlihat keriput. Rambutnya yang sudah ber-uban dan matanya yang juga mulai mengalami penuaan dengan menggunakan kaca mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Rasa | Jung Jaehyun (END)
FanfictionJae Hyuno Pradipta merupakan primadona dari anak FK. Dia cowok yang dingin namun itulah pesonanya yang membuat semua wanita menyukainya. Aktif di salah satu organisasi dan juga seorang asdos adalah nilai plus bagi Jae, yang merupakan sapaan akrabnya...