Now Playing ; Breathe By James Arthur
Mobil Mahesa baru saja meninggalkan TPU ketika jam sudah menunjukkan pukul 12 lewat 30 menit. Sedangkan Narda berada di mobil lain bersama Rendra, Mahesa memutuskan untuk mengantar Miko pulang. Kebetulan kerjaan Mahesa tidak banyak, berbeda dengan Rendra dan Narda yang sekarang sedang sama-sama mengurus jatah promosi kenaikan jabatan.
Di sebelah, Miko duduk dengan tangan sibuk memegangi bingkai jendela mobil yang terbuka, tatapannya menjelajah keluar sana dimana seiring berjalannya mobil meninggalkan pemakaman- mata bocah itu tidak beralih dari tepat itu. Mahesa sendiri tidak tahu apa yang bocah itu pikirkan. Apakah sama seperti yang ada dikepalanya? Bahwa lagi-lagi mereka harus pergi meninggalkan Haikala ditempat itu, sendirian.
"Tadi Kakak udah bilang ke Mama kalau Miko udah ketemu, tapi Kakak enggak bilang kalau Miko pergi ketemu Ayah karena Kakak udah janji sama Miko buat nggak bilang ke Mama 'kan?" Setelah mengatakan itu, Miko hanya mengangguk. Kini ia terlihat begitu lelah, bahkan sempat banjir keringat karena panas-panasan.
Tidak tahu bagaimana jika bocah itu tidak cepat-cepat ditemukan, mungkin sudah pingsan atau hal terburuk adalah pergi lebih jauh.
"Tapi Miko tau kan kalau bohong itu nggak baik?"
"Iya, Kak. Miko tau." Bocah itu menjawab sambil mengangguk. Sisa-sisa air mata dimatanya sudah dihempas jauh oleh sapu tangan milik Rendra, namun tatapan kesedihan itu masih begitu jelas. Entah bagaimana Mahesa menyekanya.
Sejauh ini, Miko mungkin sadar bahwa ayahnya pergi dan tak akan pulang. Sekuat hati orang-orang mengatakan kelak mereka akan bertemu lagi disuatu tempat, entah ampuh atau tidak, entah bisa membuat bocah itu percaya atau tidak. Sebab sampai hari ini, Hanya orang itu yang tahu sejauh mana anaknya mampu memahami sesuatu.
"Kak-" Suara Miko mengalihkan Mahesa dari jalanan lurus yang lengang. Ketika ia menoleh sekilas, ia tidak menemukan jendela mobilnya terbuka lagi dan Miko yang melamun menatap keluar, sekarang bocah itu sedang menatapnya. "Meninggal itu- apa semuanya harus disimpan ditanah? Kenapa ayah di taruh di tempat yang jauh dari rumah? Memangnya kalau meninggal Ayah jadi orang jahat?"
Sejenak Mahesa terpaku mendengar pertanyaan itu. Dari bocah sekecil Miko, bahkan ia baru beberapa hari masuk TK dan umurnya bahkan baru memasuki 5 tahun. Pertanyaan itu begitu sepele namun untuk bocah sekecil Miko, apakah pernah terlintas?
"Kak Mahesa selalu diem kalau ditanyain tentang Ayah. Kenapa? Kak Mahesa nggak tau jawabannya?"
Lagi, Mahesa hanya mampu menatap Miko sekali lagi. Dan dalam beberapa detik kemudian, laki-laki itu menggeleng.
"Kalau Miko tanya sesuatu ke Ayah pasti selalu dijawab. Ayah selalu kasih tau Miko kalau Miko nggak tau. Kak Mahesa sama kaya Mama, kalau ditanyain cuma bisa geleng-geleng."
"Karena Ayah Haikala spesial." Kata Mahesa pada akhirnya, pedal gas yang ia pijak mengendur bersamaan helaan napasnya yang menguar kesegala arah dan terperangkap dalam mobil sedan miliknya. "Ayah Haikala orang yang pintar dan bisa mengerti bahasa semua orang. Dia bisa tahu bahasa bayi, bahasa anak kecil, bahasa pemuda-pemudi, dia juga tau bahasa orang tua. Miko tau artinya apa?"
Sekilas, Miko menggeleng. Hanya untuk membuat Mahesa tersenyum tipis kemudian mengusap rambut kepala Miko penuh suka cita. "Bahasa itu sama artinya dengan isi pikiran. Karena Ayah Haikala spesial- jadi dia bisa menerjemahkan semuanya, jadi dengan begitu Ayah bisa jawab pertanyaan Miko. Sedangkan Kakak nggak se spesial Ayah Haikala. Maka dari itu, Kakak minta maaf ya karena nggak bisa kasih Miko jawaban."
KAMU SEDANG MEMBACA
2. Antariksa Berkelana [Completed]
Fanfiction[SUDAH TERBIT] BAGIAN KEDUA 'Semesta dan rumahnya' Setelah kepergiannya, semua orang melangkah dengan kaki mereka yang patah. Terseok-seok melewati waktu yang panjang, berhenti untuk menangis, berjalan kembali dengan luka yang masih sama. Maka disin...