Now Playing; Love of my life by Daya
Luka itu punya berbagai macam jenis. Bisa berbentuk dan bisa tak kasat mata. Ia datang dari berbagai macam hati, melewati benda-benda mati, hewan yang lucu, tempat yang indah, juga bisa dari sebuah hal kecil seperti hujan dan bulan.
Samahalnya seperti Jakarta, tempat itu adalah sebuah pusat luka paling perih yang kadang kala sering membuat Mahesa merasa pedih. Ketika ia melewati jalan Kartini di persimpangan Sudirman, ia akan merenungi kepergian sahabatnya dengan nelangsa. Sama halnya ketika ia melangkah melewati taman kota, tempat dimana ia pernah mendengar sahabatnya menangis, padahal ia sedang menyetir motor matic milik office boy dikantor smabil memboncengnya. Masih banyak tempat persinggahan yang menyesakkan. Hampir seluruh tempat di kota ini, mengingatkannya pada sosok paling berharga itu sewaktu-waktu. Tapi pada akhirnya, Mahesa bertahan. Bukan untuk terus menerus mengorek kesedihannya sampai ke dasar, sebab alasan terbesarnya kini adalah menjaga orang-orang didalamnya agar tak luput dari perhatiannya.
"Aku bakal bantu Narda buat cari dana pengobatannya Tante Lily. Lagipula, aku juga keberatan, Ra. Aku keberatan kalau orang yang akan mengisi tempat disebelahmu adalah temanku lagi." Dan kalimat itu benar-benar lolos dari bibir Mahesa malam itu, pada dini hari yang sunyi, dengan tatapan yang lekat dan utuh, dengan senyum tipis yang rapuh.
Hari ini, mata Mahesa menerawang jauh. Dipelataran kantor yang kering dan terik, dengan bising kendaraan dan rekan kantornya yang hilir mudik. Disebelah mobil pribadinya, Mahesa menyandarkan tubuhnya sambil membuka ponsel dan membalas beberapa pesan yang masuk.
Jonathan Nathaniel
Sekarang gue tau kenapa Narda sedekat itu sama Kara. Ah, dia nyaman ternyata sama perempuan itu.Tapi kali ini gue nggak akan sepengecut waktu itu. Kali ini, gue nggak bakal biarin Kara jadi bagian dari satupun dari kita berenam. Nggak akan gue biarkan, Bang.
Persetan Haikala tau atau enggak, karena gue selalu anggap dia ada, dia hidup di ingatan dan hati gue.
Narda Abyu Karang.
Baru sampe, Bang. Kata dokter mungkin bulan depan bakal operasi.
Hahaha, ntar gue tanya Mama ya. Kayanya sekarang Mama udah nggak boleh makan yang banyak gulanya.
Jinan
Bang, Karmila nolak gue :(Mahesa dengan telaten membalas pesan di ponselnya satu persatu. Matanya hanya sibuk menggulir ponsel keatas dan kebawah, tanpa memperhatikan sekitar.
"Mau kemana sih? Gue cariin ke ruangan lo, ternyata di luar." Hingga tiba-tiba seseorang menceletuk tepat didepan wajahnya.
Jelas Mahesa langsung mendongak. Ia menemukan Rendra dengan kemeja putih dan celana polo hitam berdiri berkacak pinggang, sambil menatapnya skeptis. "Nunggu siapa?"
"Helen." Kata Mahesa sambil mengembalikan ponsel ke saku celananya. "Lo darimana?"
"Dari dalem, gue keluar setelah nanya anak magang di divisi lo katanya lo diluar. Helen ngapain disini?"
"Ambil sesuatu sama Pak Hadi."
Rendra hanya ber-ooh panjang.
"Lo ngapain nyari gue?" Mahesa balik bertanya.
Rendra mulai mengubek-ubek tas yang tersampir dibahunya. Tak buru-buru menjawab, karena mungkin jawabannya ada didalam sana.
"Bisa jemput Miko nggak? Hari ini anaknya lagi ada kunjungan ke sekolah lain. Ini titipan dari Kara, buku tabungan sama kunci loker Miko yang ketinggalan. Alamat sekolah yang dikunjungi nanti gue kirim lewat chat ya. Sorry banget, hari ini gue disuruh liat lokasi iklan, jauh banget lagi di Bogor." Selesai menyerahkan sesuatu yang ia ambil di tasnya, Rendra menutup kembali tas tersebut. "Eh, tapi lo sibuk nggak? Lo kan lagi sama Helen ya, lupa gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
2. Antariksa Berkelana [Completed]
Fiksi Penggemar[SUDAH TERBIT] BAGIAN KEDUA 'Semesta dan rumahnya' Setelah kepergiannya, semua orang melangkah dengan kaki mereka yang patah. Terseok-seok melewati waktu yang panjang, berhenti untuk menangis, berjalan kembali dengan luka yang masih sama. Maka disin...