Sepucuk surat cinta dari Mama

5.9K 813 131
                                    

Now Playing ; Bunga Terakhir by Afgan

Dikursi tunggu koridor rumah sakit, lengang dan dingin seolah menjadi bagian paling mendominasi hari itu. Pagi hari dipertengahan jam 5, ketika matahari masih terlelap dalam peristirahatannya dan embun memenuhi batas pandang semua orang, seseorang menilik kesebelah dengan sinis.

"Mau gue cungkil mata lo?" Mahesa berbisik lirih pada Jonathan dengan tatapan mematikan kala ia menemukan Jonathan melirik Mahesa dan Helena yang tertidur bersandar disebelah Mahesa. Pagi itu, mereka lupa membawa selimut keluar kamar dan sialnya lagi dua kancing baju tidur yang dipakai Helena terbuka dibagian atas.

Seolah pemandangan pagi itu terlalu mubazir jika dibiarkan begitu saja.

"Makanya dikancingin." Jonathan memberi saran. "Kalau lo nggak mau biar gue aj-

"Nggak boleh!" Mahesa menepis tangan Jonathan dengan sekali gerak. "Ntar malah lo modus kemana-mana."

Hanya dengan pernyataan Mahesa, Jonathan langsung memukul mundur dirinya begitu saja menjauh. Meski pagi yang buta kini begitu sepi dan tenang, suara tepukan Mahesa pada punggung tangan Jonathan tidak sama sekali mengusik tidur Helen yang pulas bersandar pada bahu Mahesa sebagai bantalnya.

Sebenarnya Mahesa juga cemas bukan main. Yang pertama adalah cemas karena dua kancing baju tidur Helena terbuka, dan kedua adalah cemas karena dokter belum kunjung keluar dari ruang rawat Tante Lily sejak 30 menit yang lalu.

Sedangkan ia tidak punya ruang bergerak yang cukup untuk membenahi pakaian Helen, tapi untuk mempercayakan tugas itu kepada Jonathan, ia tidak begitu yakin. Apalagi hanya ada mereka berdua disini. Bisa-bisa Jonathan malah membercandai perempuan itu dihadapannya.

Meski sebenarnya, Jonathan tidak semesum itu. Untuk ukuran manusia sebrengsek Jonathan Nathaniel yang doyan main perempuan kesana kemari, tiidak ada satu kalipun ia menginginkan Helena untuk memuaskannya. Meski berkali-kali ia memberi tawaran, itu semua murni hanya candaan belaka.

Jonathan itu tipe manusia yang kalau menginginkan sesuatu malah memilih memendamnya dalam-dalam. Mungkin fakta ini kedengaran begitu baru dan bertolak belakang dengan sifatnya yang berandalan, tapi begitulah adanya. Seorang Jonathan akan semakin bersikap tidak suka kepada sesuatu yang ia sukai. Cukup tau saja.

"Mau kemana?" Mahesa bersuara lagi ketika ia menemukan Jonathan beranjak dari kursi tunggu.

Hanya dengan satu pertanyaan, Jonathan menghentikan pergerakannya. "Nelpon Narda bentar."

"Mau ngasih kabar soal Tante Lily?" Yang langsung mendapat anggukan dari pihak lawan bicara, laki-laki itu bergerak untuk meraih ponsel dalam saku celana.

"Bentar, Jo. Jangan sekarang. Gue nggak mau Narda khawatir."

"Terus kalau terjadi apa-apa sama Tante Lily gimana? Kalau misalnya Narda telat dapat kabar terus marah sama kita-

"Jo." Mahesa memangkas kalimat Jonathan dengan satu panggilan yang begitu tegas. Tatapan matanya menyiratkan bahwa Mahesa benar-benar harus didengarkan, tidak boleh dibantah. "Tante Lily bakal baik-baik aja."

"Lo seyakin itu padahal jelas-jelas tadi monitornya udah bunyi dan garisnya darurat?! Lo nggak inget suara itu sama persis sama suara monitor waktu dia pergi?" Detik itu, Jonathan mendekat dua langkah pada Mahesa. "Oh, gue lupa. Lo kan nggak ada disana."

"Ya," Mahesa menjawab sama tegasnya. Ia begitu tenang, sama sekali tidak merasa takut meski entah didalam sana, seberantakan apa isinya, seriuh apa keadaanya, tidak ada yang tau. "Gue emang nggak ada disebelah dia waktu dia pergi, gue nggak tahu gimana suara monitor waktu dia meninggal dan gue nggak bisa denger suara dia buat yang terakhir kali. Lo bener, Jo. Gue emang enggak tahu apa-apa tapi apa lo tega kasih tahu Narda sekarang? Disaat keadaannya belum jelas dan hari masih terlalu pagi untuk dibawa berduka. Apa lo seyakin ini mau ngabarin Narda sekarang? Apa lo yakin Tante Lily nggak bisa bertahan?"

2. Antariksa Berkelana [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang