[SUDAH TERBIT] BAGIAN KEDUA 'Semesta dan rumahnya'
Setelah kepergiannya, semua orang melangkah dengan kaki mereka yang patah. Terseok-seok melewati waktu yang panjang, berhenti untuk menangis, berjalan kembali dengan luka yang masih sama. Maka disin...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Now Playing ; No worth the pain by Hana Wilianto
Mahesa memandang deretan pohon bonsai yang tersusun rapi di teras dengan nelangsa. Pohon-pohon itu kini tak bertuan, atau lebih tepatnya mereka telah kehilangan tuan yang paling mereka banggakan. Meskipun bukan lagi Haikala, ternyata bonsai itu kini masih tumbuh subur. Mungkin tak sebahagia saat bersama Haikala, karena nyatanya Kara tidak pernah benar-benar mengajak mereka bicara. Sebab perempuan itu lebih banyak memandangi mereka dengan tatapan paling terluka, tanpa kata, tanpa tawa.
Jelas bukan salahnya. Semua orang juga tahu bahwa apa yang dilakukan Kara sampai hari ini sudah cukup. Untuk tetap berada di rumah ini, menjaga isinya, meski bayang-bayang orang yang paling ia cintai bahkan sudah tak lagi wangi.
"kak, nggak mau tidur?" Kara melongok dari ambang pintu dengan rambut yang sudah ia urai, bajunya juga sudah ganti sebab yang tadi ia pakai sudah basah kuyup karena tangis dan keringat. "udah jam 3 loh."
"Nanti, Ra. Miko udah tidur lagi?"
"Udah kok. Ini aku mau pindah ke kamar."
Mahesa menggeser duduknya agar bisa melihat Kara lebih jelas. Baju kemeja berwarna hitam miliknya sudah berganti menjadi kaos oblong berwarna merah, dengan wangi yang begitu familiar, parfume Haikala. "Helen udah tidur juga?"
"Udah juga. Kayanya dia kecapekan banget ya. Abis darimana sih? Aku nggak sempet nanya tadi."
"Bandung." Mahesa tampak menghela napas berat. "Terus mobilnya mogok, dia minta tolong aku jemput."
Kara hanya ber-ooh panjang. Ia tatap Mahesa yang matanya tampak sayu dan kehilangan cahaya. Dini hari yang dingin ini— ia malah memilih teras untuk menemaninya. Bersama gelap dan pemandangan paling menyakitkan yang hilir mudik dikepalanya.
Beberapa detik hanya ada kebisuan sedangkan masing-masing dari mereka sama sekali tak ingin beranjak, akhirnya Kara melangkah melewati ambang pintu untuk bergabung bersama Mahesa duduk diteras rumah, memangdangi deretan pohon bonsai yang bahkan mereka berdua juga tahu, meski hanya sebuah pohon tak berakal namun hidup, ia punya sesuatu untuk membuat mereka patah hati.
"Kamu belum ngantuk, Ra?" Yang langsung dijawab gelengan kepala dari si perempuan. Tanpa tatap, tanpa kalimat. "Hubunganmu sama keluarga baik-baik aja kan?"
"Kakak bahkan tau aku dan mereka nggak pernah berada disituasi yang baik-baik aja 'kan? Buatku, menurutku. Tapi aku bisa berusaha untuk menganggap semuanya baik."
"Sampai hari ini?"
"Sampai hari ini."
Lama Mahesa terdiam. Mereka berdua tidak bisa memungkiri bahwa diantara mereka berdua pernah ada perasaan saling terbuka satu sama lain, maka jangan heran jika Mahesa tahu sedikit banyak tentang apa saja yang terjadi terhadap Kara selama ini.
Bahkan sejak mereka masih berpacaran, Kara sudah membaginya.
"Aku juga tau—" Kara menjeda kalimatnya hanya untuk membuat Mahesa menoleh menatapnya. "Aku juga tahu kalau Papa minta Narda buat gantiin dia."