Tidak ada waktu senggang yang paling menenangkan ketimbang malam. Beberapa serangga menyanyi ditemani suara ranting dan dedaunan pohon yang bergesekan dengan hembusan angin dingin. Suasana yang seharusnya tepat untuk mengistirahatkan lelah raga bukan?
Waktu sudah menunjukkan hampir pukul sebelas malam, beberapa rumah tetangga sudah mulai temaram penerangannya. Namun, kalian akan menemukan pemandangan yang berbeda ketika melihat jendela kamar Nuha masih terlihat bersemu terang dari luar. Masih ada dua manusia di dalamnya yang sedang sibuk beradu mulut di atas tempat tidur.
"Gue bilang dua kosong lima."
Ponsel yang berada ditangan Sena itulah yang kini menjadi saksi perdebatanya dengan Nuha.
"Iya, dua kosong lima, terusnya kan tadi lo bilang dua empat kosong," Kepala Sena mengangguk malas. "itu dua empat kosong berapa? Pelan-pelan dong, Na, tangan gue bukan mesin," lanjut Nuha, masih dengan bahasa yang lebih kalem dari Sena. Dia tahu waktu, ini sudah malam dan tak ingin suara ribut-ribut terdengar sampai luar.
Ini hanya perkara Nuha yang meminta nomor telepon Anin--sekretaris OSIS yang sebelumnya pernah Nuha tanyakan pada Sena.
"Ya gue juga males ngulang-ngulang mulu, ngantuk nih." Sena yang sudah bersiap tenggelam dalam selimut itupun terpaksa beberapa kali urung.
"Yaudah siniin, pinjam hp-nya biar gue catat sendiri."
"Gue kan juga sekretaris, kenapa nggak suruh gue aja buat bikin proposal kegiatannya?"
Tangan Nuha yang sempat terulur, kembali diturunkan.
"Emang punya laptop? Sempet bikinnya?" tanya Nuha, dia bisa melihat jelas wajah kesal Sena dengan jilbab yang semakin rusuh itu.
"Punya sih punya, tapi gue ogah ngambil ke rumah, palingan juga udah dijual sama Ayah gue."
"Makanya gue butuh nomor Anin, atau lo aja yang kasih tahu dia?" Nuha memberi opsi, heran dengan tingkah Sena malam ini. Mungkin gadis itu sudah sangat mengantuk.
"Kok gue? Kan Ketos-nya lo," celetuk Sena menanggapi tawaran Nuha, lagipun dia juga tidak tahu apa-apa tentang proposal kegiatan yang akan Nuha rencanakan.
"Ya daripada lo cemburu," sebut Nuha membuat bola mata Sena yang semula meredup menjadi terbelalak lagi.
"Apaan nggak jelas banget. Nih, catat sendiri nomornya." Ponsel putih itu lantas lolos dari tangan Sena. Bisa-bisanya dia dituduh dengan hal memalukan begitu.
"Gitu kek dari tadi."
"Emang boleh nyimpen nomor cewek lain kalo udah nikah?" tanya Sena tiba-tiba, matanya memicing menatap Nuha yang juga langsung menghentikan aktivitasnya. Manik pria itu langsung tertuju pada Sena."Gue cuma nanya kali, gitu banget mata lo."
"Yaudah, makanya lo aja yang ngomong sama Anin. Kenapa sih, Na?"
Mendengar nada bicara Nuha yang mulai jengah membuat Sena merasa tidak enak hati, dia terkesan terlalu menahan-nahan Nuha bukan?
"Ya maaf, udah lanjutin aja. Gue mau tidur."
Saat Sena bersiap memiringkan tubuh untuk tidurpun Nuha menahannya."Please, gue ngehargain lo sebagai istri."
"Astaga, jangan liatin gue kaya gitu, dehh." Sena kemudian menghela napas dan ikut bangkit mengikuti Nuha. Memang sejak tadi posisi mereka begini, Sena tidur sedangkan Nuha duduk.
Rasanya tidak sanggup bagi Sena melihat tatapan teduh Nuha malam-malam begini.
"Gue kek apaan sih, kok gue jadi agak gila gitu ya abis nikah sama lo, gue jadi nggak jelas banget, ya, kan?" cecar Sena memikirkan sikapnya sendiri. Nuha hanya terkekeh, daripada 'agak gila', Nuha lebih suka menyebutnya ajaib.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iqlab ✓
General FictionCOMPLETED [1] "Lo istri gue, artinya gue punya tanggung jawab dan hak penuh atas diri lo. Kewajiban Lo yang paling penting cuma satu, nurut sama suami. " • Nuha Ali Marzuki "Siti Hawa pernah cemburu sama Nabi Adam karena dia telat pulang, padahal...