21. Tell a Story

6.5K 543 1
                                    

Sena kembali merasakan genggaman hangat dari Nuha begitu langkah kakinya tiba-tiba saja berhenti di depan gerbang masuk TPU. Gadis itu tidak pernah membayangkan jika di sinilah sekarang Ibunya berada dan tinggal.

"Gue lama nggak ke sini, Nuh," ungkap Sena merasa kesulitan melangkahkan kakinya.

"Seberapa lama?"

"Lama banget kayanya, gue bahkan udah lupa kapan terakhir kali ke sini. Mungkin SMP?" Kepala Sena menggeleng tak yakin.

"Ayo, Ibu lo pasti kangen." Nuha mulai menuntun Sena.

"Tapi nanti kalo gue tiba-tiba nangis jangan diejek, awas lo."

"Kenapa jangan?" Kali ini tawa Nuha nampak tertahan, dia bisa melihat jika mata Sena sudah memerah sejak keduanya membeli bunga.

"Mas, ih!" Lagi-lagi Sena dengan ringan menggeplak lengan suaminya. "Dibilangin jangan itu ya jangan. Lagian tega banget, ya kali istrinya nangis diejek bukan dipeluk."

"Peluk mulu," cibir Nuha, tangannya beralih menggerayangi pinggang Sena dan merangkulnya.

Sena sendiri sudah berjalan layaknya robot karena seluruh tubuhnya mendadak menegang. Jangan sampai dia ikutan mati hanya karena beberapa kali merasakan pijatan lembut dari Nuha pada pinggangnya. Suaminya ini tidak tahu tempat atau bagaimana, sih?

Keduanya terus melangkah dengan hati-hati, baik Sena maupun Nuha tidak ingin ada makam orang lain yang rusak karena langkah mereka. Sampai setelah berjalan beberapa meter kemudian, Sena menemukan makam Ibunya. Dia dan Nuha sepakat untuk menziarahi makam Ibu Sena dulu sebelum nanti ke makam Ayah Nuha.

Makam Ibu Sena terawat dengan baik, terlihat juga taburan bunga yang sudah mengering. Mungkin Pak Raden belakangan ini baru saja kemari.

Nuha mengajak Sena untuk membaca tahlil dan juga surat Yasin sebelum menabur bunga. Lain seperti yang dikatakan, ternyata Sena tidak menangis. Matanya hanya terlihat berkaca-kaca, elusan lembut dari Nuha pada punggungnya sukses membuat Sena tenang.

Sempat berjanji akan sering-sering datang berkunjung, Sena akhirnya mengajak Nuha beranjak menuju tempat selanjutnya. Dan Sena tidak tahu wajar atau tidak, tapi tadi dia juga sempat memperkenalkan Nuha di depan makam Ibunya dengan kalimat, "Ini Nuha, Bu, suami Sena. Ibu restuin kita, ya?"

Naluri Nuha sebagai seorang laki-laki berdesir mendengarnya, itulah sebabnya mengapa kedua pasangan muda itu berpelukan setelah keduanya selesai berdoa di atas makam Ayah Nuha.

"Nuh, udah, ya? Pelukan di kuburan ternyata serem."

Nuha terlihat terkekeh hingga kemudian memilih mengurai pelukannya menuruti Sena. Matahari telah menanjak sampai di atas ubun-ubun, butiran sinar ultraviolet itu lagi-lagi telah berhasil membangunkan buih-buih keringat dari permukaan kulit Sena. Nuha mulai bisa melihat wajah istrinya memerah dan berkilau karena panas.

"Pulang, yuk. Panas."

Sena mendongak begitu mendapati telapak tangan Nuha berada di atas kepalanya untuk menutupi sinar matahari agar tidak banyak mengenai wajah Sena.

"Nggak rela banget ya istrinya kepanasan?" Maka dengan jail Sena meraih tangan Nuha itu dan menggenggamnya.

Sedangkan dengan cepat Nuha menggantikan posisi tangan itu dengan satu tangannya yang lain. "Nggak rela. Liat, muka lo udah merah banget kaya kepiting rebus. Ayo berdiri buruan."

"Aduh, baper lagi, deh," kelakar Sena sembari berusaha bangkit. "Kita udahan, nih?"

"Iya, emang mau ziarahin siapa lagi?"

Iqlab ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang