40. Fate

5.3K 471 4
                                    

Terkadang, sebagian orang berpikir jika mengalah sama artinya dengan menyerah. Padahal keduanya bisa saja diambil dari sudut pandang yang berbeda, menyerah bisa disama artikan dengan merelakan tanpa sedikitpun rasa ingin bangkit dan berjuang ulang. Sedangkan mengalah, kata ini lebih terdengar seperti teknik mundur untuk memberikan ruang terhadap pihak lain dalam medan perebutan. Mengalah berarti bertukar kesempatan, bukan merelakan. Kelak yang mengalah sudah sepatutnya mendapatkan kesempatan, sedangkan yang menyerah, akan menikmati kehancuran.

Malam ini, iya, hari sudah malam sejak berjam-jam Sena terlantar sendirian di terminal bus. Hujan masih belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti, dan jalanan terlihat semakin mengkilap seakan siap menelan siapapun yang melintasinya.

"Kalo mau ke kampung, Mbak harus nunggu sampai besok pagi, itupun kalo hujannya reda. Cuaca kaya gini nggak ada bus yang berani ke sana Mbak." Kalimat dari petugas terminal beberapa jam yang lalu menjadi tombak awal bagaimana kini Sena berdiam diri seperti seorang gelandangan.

Sekarang dia harus ke mana? Ingin kembali pulang ke rumah juga tidak mungkin, selain ada acara keluarga yang tidak memperbolehkan kehadirannya, Sena juga bingung mencari angkutan umum. Dia bisa saja memesan taksi atau ojek online, sayangnya Nenek melarang Sena membawa ponsel sewaktu meninggalkan rumah tadi.

Gadis itu meremat selembar kain kerudung yang ia gunakan untuk menutupi kakinya dari rasa dingin, bola matanya terasa memanas sampai-sampai butiran air asin yang seharusnya mengkristal kini terasa meleleh perlahan. Sena masih bisa menahannya, tapi entah akan berapa lama.

Sena sendirian, berkorban untuk melindungi martabat Nuha sebagai seorang lelaki yang dipandang baik oleh setiap mata. Sena tidak keberatan, sungguh, tapi haruskah dengan cara yang seperti ini?

Nenek tahu jika hujan akan jatuh, namun dia terus saja mendorong Sena untuk pergi jauh meninggalkan rumah. Sampai sekarang Sena merasa jika ia telah kehilangan simpati Nenek sepenuhnya.

Kemudian suara tawa memecah keheningan, Sena mengusap wajahnya dengan monolog, "Daripada yang sebelumnya udah pernah gue rasain, ini nggak ada apa-apanya."

Ini yang membuat Sena tidak kenal apa itu menyerah, pengalaman-pengalaman buruk yang pernah ia lewati selama hidup dengan Pak Raden membuatnya kembali ke titik pendakian.

Seruan azan pertanda masuk waktu isya' terdengar, Sena ingat, sebelum sampai di terminal ini dia sempat mampir ke sebuah masjid untuk menunaikan salat maghrib, dan letak masjid itu kelihatan tidak jauh dari sini.

Sena bangkit dari tempatnya berdiam, mungkin sambil beribadah, dia juga bisa beristirahat di sana. Kendati dia harus merelakan seluruh tubuhnya basah lantaran menerobos hujan. Gadis itu hanya meletakkan tasnya di atas kepala sebagai tudung.

Sampai di masjid, Sena segera berwudhu dan ikut memposisikan diri sebagai makmum sebagaimana mestinya. Karena cuaca sedang hujan, tidak banyak orang yang berjamaah di masjid. Bahkan Sena menjadi satu-satunya makmum wanita di sini.

Di depan sana, seorang imam mulai membaca surah Al Fatihah. Seharusnya sebagai makmum Sena fokus mendengarkan, akan tetapi hati gadis itu malah berbisik, Gue kaya kenal sama suara ini.

.

Belasan tahun hidup dan tinggal di tempat yang sama, baru kali ini Nuha merasa tidak betah berada di rumahnya sendiri. Dia terjebak, kedatangan Aziza memaksanya untuk tetap tinggal sekalipun Nuha berusaha memaksakan dirinya untuk pergi menyusul dan memastikan keadaan Sena.

Jika saja tahu mengambil pesanan Nenek sama dengan kehilangan Sena dari jangkauan matanya, mungkin Nuha akan mengajak Sena bersamanya tadi.

Menyesal di belakang memang tiada guna, kedatangan Aziza bersama keluarganya juga bukanlah sesuatu bisa dengan mudah ia tebak. Karena jika iya, mungkin Nuha tidak akan secanggung ini sekarang.

Iqlab ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang