Assalamualaikum, cinta. Minal aidzin wal faidzin 💗 Gada yang spesial di chapter ini, aku hanya mulai menguliti konfliknya sedikit demi sedikit.
Happy reading.
Matahari turun perlahan, bercak bersemu kuning madu menghiasi langit di atas sebuah rumah berpagar kayu bernuansa sayu.
Sena masih ingat betul kapan terakhir kali ia terduduk di atas dipan berbahan rotan itu sambil merenung berjam-jam dan berakhir menangis dalam diam.
Semua masih terlihat sama, bahkan bunga mawar yang sempat Sena tanam masih terus berbunga kendati daunnya tak serimbun dulu. Langkahnya gemetar, jendela kamarnya terlihat terbuka dari luar, dan Sena masih tak menyangka jika rasa khawatir bercampur aduk telah membawanya kembali.
Rumah masa kecil dengan banyak kenangan, rumah tempat Sena tumbuh dan keluh. Entah di mana keberadaan laptopnya sekarang, yang Sena ingin lakukan tak lebih dari sekedar membawa benda elektronik itu pulang ke rumah Nuha dan selesai.
Niatnya memang sesederhana itu, hanya saja begitu memberanikan diri mengetuk pintu, Sena yakin akan ada hal lain yang harus ia hadapi terlebih dahulu sebelum bisa benar-benar kembali ke rumah Nuha. Hal itu adalah amarah Ayah.
"Kamu?"
Sena mengangguk pelan, tangannya yang bergetar ia angkat, bermaksud untuk mencium tangan Ayah. Tetapi untuk kesekian kalinya selama ia hidup, Sena gagal. Ayah selalu berhasil menampik tangan Sena keras.
"Kamu mau apalagi?" Tatapannya, itu bukanlah tatapan layaknya seorang Ayah pada anak. Sena lebih melihatnya seperti tatapan seseorang kepada musuhnya.
Baiklah, ingatkan Sena untuk jangan banyak bertele-tele di sini. Niatnya ingin datang dan pulang dengan cepat.
"Sena cuma mau ngambil laptop," terang gadis itu. Saat mengambil celah untuk masuk ke rumah, Ayah mendorong tubuhnya menjauh dari pintu masuk. Napas Sena berhasil berembus kasar, kesabarannya kembali diuji.
"Nggak ada, pergi sana. Nanti ada tetangga liat, malu-maluin!"
"Malu-maluin kenapa?" Sena menatap Ayahnya. "Sena cuma mau ngambil laptop, bukan nyebarin aib Ayah."
"Laptop kamu udah dijual, nggak ada apa-apa lagi di sini. Kamar kamu juga udah kosong, jadi gudang."
"Yah!" Sena menghentakkan kakinya ke tanah, apa-apaan maksud Ayahnya ini?
"Kamu udah bukan anak saya lagi. Saya udah ngasih kamu ke suami pengangguranmu itu."
"Nuha bukan pengangguran," benar Sena.
"Tapi dia nggak sekaya dan semapan Azar." Nama itu, Sena benci sekali mendengarnya.
"Buat Sena hal kaya gitu nggak penting. Karena Sena nggak akan pernah tertarik dengan materi dari seorang yang suka mempermainkan perempuan." Bahkan pernyataan ini sudah berulang kali Sena sampaikan, tapi berulang kali pula Ayahnya tidak lekas paham.
Ayah tiba-tiba saja bersedekap dada, menyenderkan tubuhnya di gawangan pintu. Masih tak ingin memberi celah untuk Sena masuk ke rumahnya. "Terserah, yang penting saya nggak usah ngurusin kamu sekarang."
Hati Sena mencelus hebat, di mana yang katanya kasih sayang seorang Ayah kepada anak perempuan pertamanya? Sejak dulu selalu seperti ini, Sena selalu tak diacuhkan oleh Ayahnya sendiri. Seolah-olah yang mengurusnya dari kecil hanyalah Ibu, dan setelah Ibu tidak ada tiga tahun yang lalu karena penyakit leukemia, Sena kehilangan segalanya.
Yang ia dapatkan dari Ayahnya hanyalah tuntutan untuk menikah. Iya, Sena bahkan sudah dipaksa untuk menikah sejak lulus SMP. Jika saja tidak ada beberapa tetangga yang membelanya dan menyadarkan Ayah jika usia Sena terlalu dini, entah jadi istri om-om mana Sena sekarang ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iqlab ✓
General FictionCOMPLETED [1] "Lo istri gue, artinya gue punya tanggung jawab dan hak penuh atas diri lo. Kewajiban Lo yang paling penting cuma satu, nurut sama suami. " • Nuha Ali Marzuki "Siti Hawa pernah cemburu sama Nabi Adam karena dia telat pulang, padahal...