"Ampun, Sen. Jangan kejar-kejar gue, udahhh." Suara Iqbal melengking di sepanjang koridor. Kakinya menapak tak kalah cepat dengan napas yang memburu. Pada fase melelahkan ini, Iqbal akhirnya menyesali satu hal. Dia menyesal karena pernah ikut campur urusan rumah tangga orang.Di satu sisi Iqbal juga heran, Sena bak memiliki kekuatan titisan kuda karena tak kenal lelah mengejar-ngejar dirinya mengelilingi nyaris tiap sudut sekolah.
Sampai kemudian Iqbal memutuskan untuk menyerah, tatapan tajam Sena tak kunjung sirna dari mata.
"Gue minta maaf, gue janji bakal tutup mulut. Please, jangan ngejar-ngejar gue. Gue capek, astaghfirullah." Iqbal menaruh kedua tangannya pada lutut untuk memperbaiki volume pernapasannya.
"Maaf nggak bakal bisa balikin waktu tidur gue yang kepotong gara-gara insomnia!"
"Allah aja maha pemaaf, masa lo yang cuma hamba aja jual mahal?" Iqbal menyugar rambut lembabnya ke belakang. "Ya kali istri seorang Nuha Ali Marzuki bukan sosok yang pemaaf? Gue pernah tuh, nggak sengaja mecahin kaca ruang OSIS, tapi Kak Nuha cuma hela napas doang sambil bilang nggak apa-apa."
Tolong beritahu Iqbal, bahwasanya membandingkan antara Sena dan Nuha itu bukanlah sebuah pekerjaan. Jelas saja hasilnya akan berbeda, Nuha lulusan pondok pesantren, sedangkan Sena? Lulusan pondok reyot. Alias rumah tak layak huni.
"Ya itukan Nuha, gue mah nggak begitu."
"Parah, nggak kebayang gimana reaksi Kak Nuha liat istrinya yang nggak mau jadi orang pemaaf." Iqbal semakin mendrama.
"Iqbal, sumpah mulut lo." Tangan Sena sudah terkepal di udara. Geli bukan main ingin menonjok wajah lebay Iqbal.
"Gue udah bantuin lo, masa nggak dimaafin?" Iqbal mundur perlahan-lahan. "Sen, sumpah gue udah berhasil nemuin akun pertama yang nyebarin video lo. Asli, lo jahat banget kalo sampe mukul gue."
"Gue udah nggak percaya lagi sama lo."
"Lo tanya aja sama-woi Kak sini!"
Sebuah garis halus menghiasi kening Sena begitu Iqbal tak meralat cepat kalimatnya dan melambai. Tak lama setelahnya, sebuah kaki jenjang berdiri tepat di sebelah Sena. Melihat sepatunya saja, Sena sudah hafal. Iqbal baru saja memanggil Nuha yang kebetulan lewat.
"Kenapa?" tanya Nuha, entah pada siapa.
Iqbal sejujurnya ingin sekali menjawab, tapi melihat tatapan Sena, dia jadi berpikir dulu berkali-kali. Jika Iqbal bilang kalau dia dan Sena baru saja bermain kejar-kejaran karena Sena tidak mau memaafkannya, pasti Iqbal akan makin dimusuhi oleh gadis itu karena kembali cepu.
"Nggak apa-apa, tadi dicariin Sena." Dan alibi ini menjadi pilihan Iqbal.
Nuha menatap Sena, tapi Sena malah fokus menatap Iqbal.
"Kenapa?" Nuha sampai harus menyentuh pipi Sena menggunakan telunjuknya untuk mendapatkan perhatian gadis itu.
"Eoh, enggak kok. Nggak ada apa-apa." Karena memang Sena tidak sedang mencari Nuha.
Merasa ada sedikit celah, Iqbal mengambil ancang-ancang untuk melarikan diri. "K-kalo gitu gue pergi ya, mau ke perpustakaan."
"Iqbal!" pekik Sena. Padahal dia baru saja ingin memulai sesi penghakimannya.
"Nggak usah dikejar." Nuha menarik ujung belakang jilbab Sena agar gadis itu tidak melangkahkan kakinya lebih lanjut.
"Gue masih kesel!" Kaki Sena terhentak di atas ubin.
"Jangan jadi orang pendendam."
"Tapi-"
"Ambil hikmahnya, Na."
KAMU SEDANG MEMBACA
Iqlab ✓
General FictionCOMPLETED [1] "Lo istri gue, artinya gue punya tanggung jawab dan hak penuh atas diri lo. Kewajiban Lo yang paling penting cuma satu, nurut sama suami. " • Nuha Ali Marzuki "Siti Hawa pernah cemburu sama Nabi Adam karena dia telat pulang, padahal...