Hari di mana Sena pergi bersama Azar, saat itu keduanya disergap keheningan yang cukup lama. Sena duduk di depan, bersebalahan dengan sopir, sedangkan Azar berada di kursi penumpang tepat di belakang tubuh Sena.
Sena ingat, Azar beberapa kali memancingnya untuk bicara, hanya saja dia terlalu hanyut dalam isi kepalanya. Sena beberapa kali mengigit bibir bawahnya, khawatir dengan keputusan yang ia buat sendiri.
Sena memutus atensinya dari jalanan, gadis itu sedikit memutar tubuhnya ke belakang untuk menemukan Azar yang sibuk mengotak-atik layar Ipad-nya. Pekerja kantoran, sesibuk itu, ya?
"Azar," panggil Sena. Sialnya pria berkacamata itu tidak merespon sama sekali.
Bola mata Sena berotasi malas, pria menjengkelkan di belakangnya ini kembali banyak tingkah.
"Terserah lo mau nanggepin gue apa enggak, gue cuma mau bilang. Tolong kasih tahu Nuha kalo hari ini gue pulang ke rumah Pak Raden, gue nggak bawa HP. Takutnya dia khawatir," tutur Sena. "Itu syarat dari gue karena mau ikut lo."
Bahkan tanpa mendapat jawaban yang jelas, sampai hari ini, dengan kebodohannya Sena percaya jika Azar benar-benar menghubungi Nuha.
Padahal kenyataannya, di lain sisi Nuha seperti seseorang yang kehilangan arah. Bagaimana tidak? Sena bak hilang ditelan bumi, tanpa kabar dan juga tanpa petunjuk. Satu-satunya alat komunikasi yang bisa keduanya pakai pun tidak ada gunanya, lantaran Nuha menemukan ponsel Sena tergeletak di atas bantal dengan daya lemah.
Hari ketiga tanpa Sena, yang Nuha lakukan tak lebih dari berdoa dan berharap agar Sena kembali kepadanya. Alih-alih memikirkan urusan organisasi yang sedang sibuk-sibuknya, Nuha malah dibuat gagal fokus dengan memikirkan kira-kira kesalahan apa yang sudah ia perbuat hingga Sena pergi begitu saja?
Bukan, bukan masalah perjodohan Nuha dengan Aziza. Kendati hal tersebut juga merupakan masalah bagi hubungan keduanya, Nuha tak ambil pusing, karena dia sudah terlanjur yakin jika Sena adalah satu-satunya takdir untuk dirinya. Pun, Nuha percaya, Sena tidak mungkin sudah mengetahui hal tersebut, kecuali dia sendiri yang memberitahunya---dan nenek yang juga belum bertemu Sena selama tiga hari ini.
"Jadi gimana, Nuh?" Di pertemuan OSIS kali ini, Hersa bahkan lebih banyak berbicara ketimbang Nuha.
Semua anggota yang berkumpul terlihat saling melirik satu sama lain, heran dengan ketua OSIS-nya yang sejak tadi diam dan melamun. Tanpa tahu jika sekarang semua orang tengah menunggu jawaban pasti darinya.
"Nuha!" panggil Hersa lebih keras.
Suara pulpen yang jatuh dari di atas meja dari tangan Nuha membuat lelaki itu mengusap wajahnya sambil beristighfar.
"Maaf, gue nggak fokus. Tadi sampai mana?"
Hersa menghela napasnya keras. "Lo kalo lagi banyak masalah, jangan ngajakin rapat. Mending selesaiin dulu masalah lo, kita lanjut nanti kalo lo udah enakan," ujarnya.
"Iya, Nuh. Mata lo sampai kelihatan suntuk banget gitu," Anin terkekeh samar, kemudian menyodorkan satu lembar kertas yang penuh dengan tulisan. "Ini, lo bisa baca di rumah sambil istirahat. Itu cuma ide-ide dari kita buat acara pelantikan sama reorganisasi nantinya, keputusan tetep di tangan lo."
Nuha menatap kertas dari Anin, begitu banyak hal yang sudah mereka bahas, dan tidak satupun yang Nuha mengerti? Separah apakah dirinya melamun dan memikirkan Sena barusan?
"Oh, iya. Itu yang di bawah sendiri idenya Sena. Dia nyaranin supaya kita liburan bareng setelah reorganisasi, katanya sih biar punya kenang-kenangan." Anin mengimbuhi, mengingat percakapannya dengan Sena beberapa hari lalu sebelum gadis itu menghilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iqlab ✓
General FictionCOMPLETED [1] "Lo istri gue, artinya gue punya tanggung jawab dan hak penuh atas diri lo. Kewajiban Lo yang paling penting cuma satu, nurut sama suami. " • Nuha Ali Marzuki "Siti Hawa pernah cemburu sama Nabi Adam karena dia telat pulang, padahal...