"Emangnya lo mau jual ginjal?" Sena mengusap wajahnya yang basah menggunakan handuk. Dia banyak berkeringat karena percakapan menegangkan beberapa saat yang lalu, ditambah lagi ikut memikirkan bagaimana caranya Nuha mendapatkan uang 350 juta dalam waktu semalam.
Bayangkan, nenek berhasil merestui hubungannya dengan Nuha karena pria itu berjanji akan mengembalikan uang Kyai Zakaria besok. Sekali lagi, besok! Sedangkan pemasukan mereka saja pas-pasan beberapa bulan ini.
Melihat istrinya yang terus mendumel masalah hutang, Nuha yang sudah tenang berada di atas kasur pun mengelus dadanya sabar. "Na, gue dari tadi diem, loh. Kenapa malah lo yang ngawur, sih? Lagian siapa juga yang mau jual ginjal?"
Sena yang sekarang ini berdiri di depan cermin pun buru-buru melepas ikatan rambutnya dan menghampiri Nuha. "Terus lo dapet uang sebanyak itu dari mana, Nuh? Kasih tahu gue," tuntutnya.
Nuha memperbaiki posisi bantal yang ada di belakang punggungnya, hal pertama yang ia lakukan bukan menjawab pertanyaan Sena yang terdengar begitu mendesak, melainkan menatap wajah Sena lamat-lamat. Bahkan sebuah jerawat yang mulai memutih di atas kening gadis itu tidak mengurangi eksistensi kecantikannya di depan sang suami.
"Nuhaa." Sena menggoyangkan lengan Nuha agar pria itu mau berkedip. "Lo dengerin gue nggak, sih?"
Nuha lekas mengangguk begitu menyadari jika Sena baru saja berdengus. Gadis itu pasti mulai kesal lagi.
"Duduk sini, jangan berdiri kalo ngobrol," tegurnya.
Ini yang paling Sena tidak suka, Nuha selalu saja mengulur-ulur untuk menjawab pertanyaan darinya. Sena pun hanya duduk di bibir ranjang, karena jika naik ke atas kasur, yang ada Nuha akan menyuruhnya tidur.
"Lo dapet uang dari mana?" Sena mengulangnya sekali lagi dengan nada yang lebih menuntut.
Dengan santainya Nuha malah menjawab, "Dari Allah."
Entah untuk kesekian kalinya, Sena lagi-lagi menggeplak lengan Nuha. "Ya emang rezeki itu dari Allah, tapi maksud gue perantaranya lewat apa?! Kalo nggak mau jawab ya bilang aja nggak mau jawab. Gue udah biasa, kok."
Iya, biasa ngambek, batin Nuha, dia pun tak punya pilihan lain lagi sekarang. "Bukannya gitu, gue maunya lo terima jadi aja, nggak usah mikirin tentang uang. Gue nggak mungkin nyanggupin nenek kalo gue nggak punya persiapan," jelasnya.
"Ya kalo kaya gitu apa gunanya gue jadi istri lo? Entah gue bisa bantu atau enggak, lo itu harus tetep cerita sama gue. Biar kesannya lo itu nggak berjuang sendirian."
Dan seekor kupu-kupu pun tidak akan bisa terbang jika hanya dengan satu sayap, bukan? Mereka harus sama-sama mengepak untuk mencapai tujuan, entah pada akhirnya mendarat pada sekuntum bunga yang indah ataupun tidak.
"Kalo gitu gue boleh minta tolong?" Nuha menatap Sena, hanya untuk melihat bagaimana gadis itu mengangguk dengan senang hati. "Di dalem lemari buku di rak paling atas, gue nyimpen sesuatu. Tolong cariin."
Sena sempatkan menatap lemari tersebut sebelum kembali mengangguk.
"Jangan diberantakin tapi." Nuha memperingatkan, padahal tangan Sena baru saja sampai di depan lemari dan belum menyentuh satu buku pun termasuk lemarinya.
"Yaudah sini, lo sendiri aja yang nyari." Gadis itu bersedekap dada dengan alis menukik.
Nuha sedikit tergelak, pencahayaan kamar yang temaram membuat ekspresi Sena terlihat lucu, terlebih lagi dengan setelan piyama bergambar kepala beruang.
"Nggak bisa, udah nyaman banget ini." Selimut polos yang sebelumnya berada di bawah kaki Nuha, kini mulai membaluti tubuhnya.
"Ya gue nggak ngerti!" Sena tanpa sadar menghentakkan kakinya di atas lantai, dia juga ingin tidur. Bukan mencari sesuatu yang entah apa di antara tumpukan buku yang tidak bisa ia hitung jumlahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iqlab ✓
Ficção GeralCOMPLETED [1] "Lo istri gue, artinya gue punya tanggung jawab dan hak penuh atas diri lo. Kewajiban Lo yang paling penting cuma satu, nurut sama suami. " • Nuha Ali Marzuki "Siti Hawa pernah cemburu sama Nabi Adam karena dia telat pulang, padahal...