Kasih komen biar manis, bentar lagi habis🧁🧁
Hari ini, untuk pertama kalinya saat membuka mata, Sena bisa menghirup udara dingin perkampungan yang membuatnya semakin betah untuk tinggal dan menetap.
Jika saja diberi kesempatan hidup lebih lama, Sena ingin sekali menghabiskan masa tuanya di kampung ini bersama dengan Nuha. Sebuah lingkungan kecil dengan kesederhanaan yang membuatnya lebih banyak bersyukur, Sena sungguh menyukainya.
Bahkan ketika masuk ke dapur di rumah pak Dul, Sena dibuat berdecak kagum dengan segala macam peralatan yang masih jauh dari kata modern. Sungguh, satu-satunya alat elektronik yang Sena temukan di rumah ini hanyalah lampu dan juga sebuah radio usang tahun 90-an, selebihnya masih tradisional.
Akan tetapi di balik rasa kagumnya, ada juga terselip rasa jengkel yang pagi ini nyaris saja membuat Sena menangis. Di dapur, pak Dul tidak memiliki kompor untuk memasak, dan satu-satunya hal yang bisa Sena jumpai hanyalah sebuah tungku api berbahan tanah liat dengan bahan bakar kayu untuk menghidupkannya. Dan Sena sangat payah untuk yang satu itu.
Hampir setengah jam lamanya ia berjongkok di depan tungku, dan selama itu pula tidak ada api yang berhasil ia hidupkan. Kalaupun bisa, mungkin hanya beberapa detik saja sebelum kemudian kembali mati karena tertiup angin.
Jika saja ada kompor gas seperti di rumahnya, mungkin masakan Sena sudah siap di makan sekarang. Berhubung ia tidak berpengalaman dengan tungku api, jadilah Sena seperti orang frustasi sekarang.
"Nuha." Sena memanggil suaminya untuk meminta bantuan. Jika pria itu tidak datang, mereka benar-benar tidak akan makan seharian ini kecuali meminta ke rumah budhe Mimin.
"Nuha bantuin, dong," ulangnya begitu sang pemilik nama tak kunjung datang. Tadi saat Sena pergi ke dapur, Nuha sedang duduk di ruang tamu sambil menelepon nenek. "Astaghfirullahadzim, Mas kamu kemana, sih?! Awas ya pura-pura nggak denger." Sena mulai menggeram marah.
Barulah Nuha datang kepada Sena sembari membawa segenggam besar daun kelapa yang sudah kering di tangannya.
"Kenapa, Sayang? Nggak bisa nyalain api, ya?
"Bukan nggak bisa, apinya emang nggak mau nyala." Saking kesalnya Sena sampai melempar korek apinya ke tanah.
Nuha membalas kekesalan istrinya dengan gelengan kepala berulang. "Makanya sabar, jangan pakai emosi."
"Aku udah setengah jam di sini coba nyalain api, terus kurang sabar apalagi?"
"Bukan masalah waktunya, Na. Ya kalo kamu tahu cara yang kamu gunain untuk nyalain api nggak berhasil, kenapa nggak coba nyari cara lain?" Nuha bukan bermaksud menyalahkan Sena, dia hanya ingin mengajari dan memperlihatkan kepada istrinya tentang kehidupan yang lebih sederhana.
"Emangnya ada cara lain?" Satu-satunya cara lain yang Sena pikirkan sebelum ini adalah mengambil bensin dari motor Nuha dan menuangkannya di atas kayu bakar, akan setelah dipikir ulang, hal seperti itu hanya akan membuat Sena tampak konyol.
"Ada, pakai daun kelapa yang udah kering kaya gini juga bisa." Nuha mulai memantikkan koreknya dan membakar daun kelapa kering tersebut. Seketika api langsung menyala membakar tungku, setelah itu barulah Nuha menambahkan kayunya satu persatu.
"Gitu doang?" Sena bahkan sempat menganga melihatnya. Sekarang tidak ada alasan lagi untuk tidak mengakui jika Sena memang payah.
"Iya, sekarang ayo masak. Aku bantuin."
"Nggak usah."
"Nggak usah gimana? Hari ini yang makan bukan cuma kita berdua sama pak Dul, tapi orang-orang yang bantuin kerja di sawah juga," beber Nuha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iqlab ✓
General FictionCOMPLETED [1] "Lo istri gue, artinya gue punya tanggung jawab dan hak penuh atas diri lo. Kewajiban Lo yang paling penting cuma satu, nurut sama suami. " • Nuha Ali Marzuki "Siti Hawa pernah cemburu sama Nabi Adam karena dia telat pulang, padahal...