Antara cinta dan peduli, ataukah sebatas menjalankan sebuah tanggung jawab berikrar suci, semua itu membuat Nuha termenung cukup lama. Kali ini, entah beban apalagi yang ia rasakan sampai memencet starter sepeda motornya saja, Nuha merasa kesulitan.
Di satu sisi, Sena nampak terduduk di lantai teras dengan air muka memberengut sembari menunggu untuk melihat kepergian Nuha. Lelaki itu jadi ke kampung tanpa Sena, keputusan ini sudah mutlak.
Nuha tega tak tega sebenarnya, meski terlihat tak acuh dan sibuk memainkan ponsel, Nuha yakin jika Sena sedang mengadakan acara ngambek besar-besaran sekarang.
"Nanti gue pulangnya nggak sampai malem, habis itu gue anterin deh lo mau kemanapun, kita jalan-jalan, ya?" Jika saja bergegas, Nuha bisa pergi meninggalkan rumah detik ini juga. Sena tidak lagi menghalanginya, tapi melihat raut masam gadis itu, akhirnya Nuha memberi bujukan.
Bukan lagi tertarik, Sena malah mengeraskan volume ponselnya, seakan tak mau mendengar sepatah kata pun dari Nuha. Lebih baik Sena mendengarkan suara debat perselingkuhan dari drama yang sekarang ini tengah ia tonton.
"Na, jangan kaya gini dong." Kontan Nuha turun dari atas motornya dan menghampiri Sena. Bukan sekedar menghampiri lagi, Nuha bahkan merebut ponsel dari tangan Sena.
Sena berdecak, kemudian bangkit menghadap Nuha dan bersuara, "Lo mending kalo mau berangkat, buruan. Nggak usah peduli sama gue."
"Gimana gue mau berangkat kalo lo kaya gini terus?"
"Ya naik motor lah, berangkat kok gimana," cibir Sena.
"Jangan ngambekan kaya gini bisa nggak? Gue itu nggak ngajak lo juga demi keselamatan lo sendiri." Sekali lagi Nuha memberi pengertian.
"Yaudah, kalo gitu kenapa lo nggak berangkat dari tadi? Gue nggak ngambekan, tapi dari lahir emang udah kaya gini. Daripada gue ngamuk kaya orang kesurupan, mending diem, kan?" Sengaja, Sena mengatakannya tanpa melirik Nuha sedikitpun.
"Terus lo maunya apa? Gue lebih baik nggak jadi pergi daripada lo kaya gini terus."
Sena menghela napas mendengarnya, kali ini dia tidak boleh egois apalagi sampai menjadi kendala urusan Nuha. Melihat embun yang berada di atas daun stroberinya mulai menghilang sebab panas kian menanjak, Sena mengalah.
"Gue nggak mau apa-apa, yang penting lo pulangnya masih utuh kaya gini, udah." Manik Sena meniti postur Nuha dari ujung kaki sampai ujung kepala. "Sana kalo mau pergi, nanti keburu siang lagi."
Dan, Nuha kembali dibuat bingung dengan perubahan mood Sena yang suka tidak tahu permisi. Apakah memang semua wanita seperti ini? Sulit dimengerti?
"Boleh?" Nuha memastikan.
"Boleh, tapi balikin hp gue." Maka benar saja, Nuha mengembalikan ponsel Sena dari genggamannya.
"Kenapa tiba-tiba berubah pikiran?"
"Lagi belajar buat nggak egois aja, sih," jujur Sena sembari mengulurkan telapak tangannya.
Detik berikutnya, Nuha melakukan hal yang sama, dia memberikan Sena mencium punggung tangannya sebagaimana mestinya.
Tiba-tiba dada Nuha terasa begitu nyeri. Lo nggak egois, Na. Tapi gue yang nggak bisa nurutin permintaan lo, batinnya.
"Hati-hati di jalan. Hamasah, Nuha."
Senyuman Sena saat mengatakannya, Nuha akan mengingat itu sampai kapan pun.
Dan untuk pertama kalinya, hari ini Nuha memberikan diri mencium kening istrinya dengan cukup lama.
"Makasih," guman Nuha.
Mata Sena terpejam dengan kedua tangan mengepal. Entah hidayah macam apa yang engkau berikan pada Nuha, tapi sumpah, Ya Allah! SENA NGGAK KUATTTT. Sena menjerit dalam batin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iqlab ✓
General FictionCOMPLETED [1] "Lo istri gue, artinya gue punya tanggung jawab dan hak penuh atas diri lo. Kewajiban Lo yang paling penting cuma satu, nurut sama suami. " • Nuha Ali Marzuki "Siti Hawa pernah cemburu sama Nabi Adam karena dia telat pulang, padahal...