44. Lie

6K 517 14
                                    

Tepat di sebelah tiang besar yang menjulang menyangga bangunan kediaman Kyai Zakaria, Nuha terduduk diam usai beberapa saat yang lalu meminta izin meninggalkan ruangan setelah lama bercengkerama.

Semula Nuha hanya ingin mencari udara segar sambil mengelilingi komplek asrama putra dan juga mencari kesempatan untuk menelepon Sena, hanya saja karena pesan yang ia kirimkan tak mendapatkan respon baik dari pihak penerima, Nuha mendudukkan dirinya begitu saja saat langkahnya baru sampai di teras.

Berulang kali mengirimkan pesan, satu-satunya balasan yang ia dapatkan seketika membuat jantung Nuha berdetak tak karuan. Rasa takut dalam benaknya kembali menyala, bahkan mulai berkobar ketika seseorang menghentikan langkahnya untuk pergi.

"Mas, mau ke mana? Umi nyuruh kamu pulang setelah kita makan siang."

Haruskah ada hal seperti ini di saat Nuha sudah kesulitan membendung langkahnya untuk menemui Sena? Terlebih lagi Aziza malah mengambil posisi pada sisi lain tiang seakan ingin mengajak Nuha berbincang meski tanpa bertatap muka satu sama lain. Tiang besar yang berada di tengah-tengah keduanya sudah selayaknya sebuah tembok, tapi jika untuk saling bertukar suara, mereka bisa.

"Aku yakin nenek nggak akan keberatan, lagian juga jarang-jarang kamu ke sini dan makan masakan Umi, Mas."

Nuha paling tidak suka dengan posisi ini, di mana ia harus dihadapkan dengan Aziza tanpa seorang pun di antara mereka. Kendati sebuah tiang memisahkan jarak keduanya, tetap saja, beton di sebelahnya ini bukanlah manusia. Nuha merasa berat hati berduaan dengan gadis lain selain istrinya di sini.

"Mas, kamu kenapa---"

"Cukup, Za." Tanpa disangka, Nuha menyela dengan begitu cepat, sangat cepat sampai bibir Aziza saja belum sempat terkatup. "Kamu bisa panggil saya Kakak kaya sebelum-sebelumnya, jangan Mas."

Aziza menahan diri untuk tetap berada pada posisinya. Siapa sangka jika Nuha akan mempermasalahkan hal seperti itu? Jelas saja Aziza tidak, dia hanya ingin memanggil Nuha dengan panggilan yang lebih spesial menurut versinya. Dan kalaupun ternyata selama ini Nuha tidak suka, Aziza harus diberi alasan.

"Tapi keadaannya udah beda, kamu udah nggak lagi mau jadi Kakak aku, tapi kamu mau jadi suami aku. Dan aku pengin panggil kamu kaya gitu. Kalo kamu nggak suka, kasih aku alasan."

Baiklah, Nuha baru saja dituntut dan hal itu membuatnya tak memiliki pilihan lain. Diabaikan Sena membuat kejernihan dalam pikirnya terganggu, bahkan sebenarnya, Nuha tak terlalu mendengarkan Aziza. Fokusnya tetap pada layar ponsel, berharap pesan dan panggilan yang ia kirim diterima oleh Sena. Sampai ketika sadar semua yang ia lakukan lewat jarak sejauh ini adalah sia-sia, Nuha memilih segera menyelesaikan perbincangannya dengan Aziza.

"Cuma istri saya yang boleh manggil saya kaya gitu. Dan selain dia, saya nggak terbiasa."

Kali ini Aziza tak bisa menahannya lagi, dengan sekelebat mata ia melirik Nuha. Benar-benar hanya sekelebat, entah genap lima deti atau tidak, yang jelas Aziza telah berhasil melihat apakah yang barusan bicara itu sungguhlah Nuha atau bukan.

"Ya berarti bener dong, Mas. Aku kan yang nanti bakal jadi----" Kalimat Aziza kembali tak terselesaikan sebagaimana yang ia harapkan.

"Bukan kamu yang saya maksud, Za." Nuha tahu memotong pembicaraan memanglah bukan hal yang baik, tapi jika tidak begini, dia tidak akan bisa menghentikan angan-angan Aziza terhadapnya. "Istri saya bukan kamu, dan kamu juga bukan calon istri saya. Maaf kalo kamu harus denger hal ini, tapi demi Allah, Za. Saya anggap kamu nggak lebih dari seorang adik dan saya juga mau kamu cukup anggap saya sebagai seorang kakak. Jangan dilebih-lebihkan."

Jika wanita sebelumnya memilih agar air matanya tak jatuh, maka lain halnya lagi dengan Aziza, dia tak segan membiarkan air bening itu mengucur melintasi permukaan halus kulitnya.

Iqlab ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang