"Bentar, kalian ... ini kalian?"
Kesan pertama yang Sena dapat setelah beberapa hari tidak masuk sekolah adalah terkejut. Baru saja dia turun dari motor Scoopy Bu Sri, Hesti, Dera dan Anin menyambutnya dengan aura yang membuat Sena terheran-heran.
Tidak ada lagi bando choco yang biasanya melekat pada rambut Dera, juga japit mutiara (yang katanya japit Korea) pada sisi kanan dan kiri kepala Anin, serta jangan lupakan rambut kece badai Hesti yang ujungnya berwarna pink. Semua itu hari ini tertutup oleh kain putih, senada dengan seragam yang mereka kenakan.
Singkatnya, mereka bertiga hari ini tampil mengenakan jilbab. Mungkin untuk Hesti, Sena tidak begitu terkejut, mengingat gadis itu pernah melakukan yang lebih daripada ini, tapi untuk Anin dan Dera? Sena akui, dia terkejut.
"Jangankan lo, Sen, bapak gue aja kopinya langsung nyembur liat gue tiba-tiba pakai jilbab."
Dera menyikut lengan Anin. "Bukan lo doang, papi malah katanya mau bikin syukuran liat gue kaya gini."
Suara Hesti tertawa membuat satu meja menatapnya, kecuali Sena yang lebih memilih fokus mengupas satu demi satu kuaci yang kulitnya hampir memenuhi meja. Meski begitu dia tetap mendengar setiap celotehan yang dilayangkan Hesti dan dua orang lainnya.
Waktu istirahat ke-dua berlangsung selama 30 menit, begitu selesai menjalankan salat dhuhur di mushola sekolah, Hesti memboyong circle barunya----termasuk Sena ke kantin. Padahal Sena lebih memilih ke UKS dan tidur.
"Kelihatan banget lo berdua nggak pernah nutup aurat di rumah," ucap Hesti seiiring dengan tawanya yang mereda.
"Dera suka pakai tanktop doang." Anin menyeletuk, belum juga bibirnya mengatup, Dera menyuapinya dengan sepotong besar roti.
"Jangan keras-keras, lo nggak liat apa dari tadi kita kaya selebritis di sini?" Mungkin maksud Dera karena meja tempat mereka berempat tiba-tiba saja menjadi pusat perhatian.
"Biarin aja, nanti mereka juga terbiasa." Masih dengan kepercayaan diri tingkat dewinya, Hesti tak segan melemparkan senyuman manis kepada beberapa orang yang melihatnya. Anin dan Dera sampai bergidik ngeri.
Bahkan Sena pun diam-diam geleng-geleng kepala. Hidupnya yang biasanya tenang seorang diri kini makin berisik. Perlu lebih banyak waktu bagi gadis itu untuk menyesuaikan diri dengan yang namanya lingkaran pertemanan. Apalagi dengan orang-orang yang dulu menjadi musuhnya.
"Sen, lo pakai skincare merek apaan?"
Sena yang sibuk mengumpulkan kulit kuacinya yang berserakan di atas meja itupun sempat berkerut dahi mendengar pertanyaan Hesti.
"Emangnya kenapa?" Sena balik bertanya, tidak mungkin kan gadis di depannya ini mengajak adu glowing?
"Nggak apa-apa sih, muka lo keliatan seger aja."
"Makanya bangun pagi, tahajud," ungkap Sena.
"Emangnya ngaruh, ya?"
Sena melirik Dera yang terlihat mengaduk-aduk es batu dalam tehnya. "Ya ngaruh, coba aja kalo nggak percaya."
"Bukannya nggak percaya, tapi ... gimana, ya? Gue subuh aja kadang-kadang kesiangan."
"Sama!" sahut Hesti dan Dera kompak.
"Kalo gitu perbaiki dulu yang wajib, baru ngikutin sunah. Jangan sampai udah salat tahajud, tapi malah nggak salat subuh karena ketiduran." Bukan menasehati, Sena hanya berbagi cerita, karena dia sudah pernah mengalaminya. Dulu. Sebelum kenal dengan Nuha. Sekarang setelah kenal dan menjadi istri Nuha, Sena tidak khawatir lagi tentang salat, karena pria itu tidak pernah absen mengingatkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iqlab ✓
Fiksi UmumCOMPLETED [1] "Lo istri gue, artinya gue punya tanggung jawab dan hak penuh atas diri lo. Kewajiban Lo yang paling penting cuma satu, nurut sama suami. " • Nuha Ali Marzuki "Siti Hawa pernah cemburu sama Nabi Adam karena dia telat pulang, padahal...