Hari ini, Sena dan Nuha sampai di titik final. Masa putih abu-abu keduanya akan berakhir di bulan Juni siang ini dengan balutan toga hitam setelah sebelumnya sibuk berperang melawan ujian kelulusan.
Waktu berjalan begitu cepat, sebelas bulan sudah keduanya mengarungi bahtera dengan banyak hal yang--tentu saja tidak bisa diceritakan seluruhnya. Mereka selalu bertengkar, tapi kemudian kembali baik-baik saja sebab Nuha tidak akan membiarkan sebuah masalah berlarut-larut selama lebih dari tiga hari. Jadi bisa dibilang, rumah tangga mereka cukup harmonis.
Lima belas menit lagi, acara wisuda di mulai. Namun sebelum itu, beberapa murid terlihat berkumpul di halaman sekolah, ada yang hanya diam menunggu acara dimulai sambil menikmati sinar matahari dan udara pagi seperti Sena, ada juga yang sibuk mengabadikan momen dengan berfoto ria bersama orang tua dan teman-teman seangkatan lainnya.
Di hari yang penting ini, Sena tidak memiliki siapapun yang bisa ia undang untuk datang. Semula, ia ingin mengundang Pak Raden sebagai wali murid untuknya, tapi karena terlalu lama tidak berkomunikasi, Sena takut Ayah sambungnya itu enggan untuk datang. Alhasil Sena tidak memiliki wali hari ini, kecuali nenek yang juga sama-sama menjadi wali murid untuk Nuha.
"Sen, sini foto bareng!" Dari jarak yang tidak terlalu jauh, terdengar Anin memanggil seraya melambaikan tangan. Gadis yang hari ini mengenakan kacamata berlensa bulat itu terlihat berdiri bersama Hersa dengan membawa sebuah kamera.
"Enggak, deh, Nin. Lo aja."
Sena menolak, namun entah dari mana datangnya, Dera tiba-tiba saja menarik pergelangan tangannya sambil berkata, "Hersa itu fotografer profesional, sayang kalo nggak dimanfaatin."
"Ck, gue nggak suka foto, Der." Sena berjalan gontai mengikuti langkah Dera.
"Suka nggak suka harus foto, ke depannya kita nggak tahu bisa ketemu lagi atau enggak, jadi harus punya kenang-kenangan," ucap Dera yang juga turut mendapat anggukan dari Anin dan Hersa.
"Kalo gitu buruan ambil pose." Hersa yang sudah siap dengan kameranya pun memberi titah. "Lo di tengah, Sen. Dera sama Tata lebih tinggi soalnya." Kekehan Hersa sempat terdengar.
Sena sukses dibuat berdengus, baru kali ini dirinya disebut pendek secara tidak langsung. Begitu melihat Sena mengambil posisi sesuai yang ia inginkan, Hersa pun mulai mengambil gambar ketiga gadis di depannya. Mereka sama-sama cantik dengan balutan jilbab, nyaris saja Hersa tidak bisa menjaga pandangannya.
"Sa, bagus nggak?" Dera menegur, merasa ada yang aneh dengan gelagat Hersa.
"Eoh? Iya, bagus, kok. Sekali lagi." Sejenak, mata Hersa nampak memejam, dia harus fokus.
"Banyak banget." Sena yang tidak bisa berlama-lama di depan kamera pun mulai protes.
"Nggak apa-apa, khusus hari ini gue bakal jadi fotografer buat circle kalian." Hersa kembali mengangkat kameranya. "Hitungan ke tiga gaya bebas, ya. Satu ... dua ... ti ..."
"Bentar!" Anin tiba-tiba saja menyela. "Hesti mana? Masa kita foto-foto tanpa Hesti?"
Setelah sekian banyaknya mengambil foto, mereka baru sadar jika kekurangan satu personil. Hal tersebut kontan membuat ketiganya celingukan mencari keberadaan Hesti.
"Itu ... Hesti bukan, sih?" Sampai kemudian Sena memakukan pandangannya pada salah satu sudut, kepalanya mendongak menatap sosok gadis berjilbab maroon tengah berdiri melamun di lantai dua.
Tanpa menunggu lama-lama, mereka berlari meninggalkan Hersa untuk menghampiri Hesti yang dihiasi dengan wajah murung. Pemandangan tak biasa dari gadis yang biasanya ekstrovet itu membuat Sena bertanya-tanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iqlab ✓
General FictionCOMPLETED [1] "Lo istri gue, artinya gue punya tanggung jawab dan hak penuh atas diri lo. Kewajiban Lo yang paling penting cuma satu, nurut sama suami. " • Nuha Ali Marzuki "Siti Hawa pernah cemburu sama Nabi Adam karena dia telat pulang, padahal...