18. Ideal Type

7.2K 518 7
                                    

Sena tidak bisa tidur, hawa dingin pedesaan menembus jendela kayu di kamar Lestari yang hanya ditutupi oleh sehelai kain tipis. Bahkan kain itu tidak bisa diam karena diombang-ambingkan oleh angin.

Tangan Sena memperbaiki tatanan selimut yang membalut tubuh Lestari, bocah SD itu tidur nyenyak usai Sena ajak bermain game yang ada di ponselnya sebentar. Dan sekarang pun Sena masih melakukan hal yang sama, bermain game.

Biasanya jam-jam menjelang larut begini Sena ngantuknya sudah tidak tertolong, hanya saja malam ini dia justru merasakan matanya masih tetap segar.

Sepertinya beberapa pikiran-pikiran yang berlebihan sukses menarik saraf mata Sena agar tetap terbuka. Dan saat Sena ingin bermain satu ronde lagi, dia terpaksa urung karena mendapat panggilan telepon dari Nuha. Lelaki itu juga belum tidur?

Sena segera menjauh dari atas tempat tidur, tak ingin jika Lestari sampai ikut terbangun. Menemukan sudut yang tepat, Sena memilih berdiri di dekat jendela sambil mengangkat panggilannya.

"Belum tidur atau kebangun? Kenapa HP-nya masih online?" Jika biasanya mengucap salam, kali ini langsung saja Nuha mengintrogasi Sena.

Gadis itu menepuk jidatnya sendiri, memilih bermain game online memanglah sebuah kesalahan. Lagipun berbeda dengan kampung-kampung pada umumnya, signal di sini cukup lancar dan nyaris tanpa hambatan.

"Nggak bisa tidur." Daripada menambah masalah, lebih baik Sena jujur.

"Udah baca Al Mulk?"

"Udah."

"Baca doa?"

Sena menghela napas. "Udah, Mas, udah." Tapi yang namanya tidak bisa tidur ya bagaimana lagi?

"Al-Falaq, Al-Ikhlas, An-Nas?" tanya Nuha lagi, sekalian mengingatkan. Karena kenyataannya Sena sedang menggaruk hidungnya sebab lupa.

"Lupa."

"Masa lupa terus?"

"Nggak tahu, kan namanya juga lupa," Sena menjaga suaranya agar tetap lirih. "Makanya Mas sini tidur bareng gue biar inget terus."

Kalian tahu, sampai detik ini pun Sena masih ingin sekali memeluk Nuha. Siapa yang menyangka jika Sena akan langsung kecanduan pelukan Nuha hanya gara-gara pria itu yang memulainya di pinggir sungai beberapa waktu yang lalu.

"Emangnya lo mau kita digrebek warga kampung, hum?" Sedikit kekehan Nuha yang terdengar membuat Sena ikut tersenyum.

"Tapi gue nggak bisa tidur, serius."

"Iya, nggak bisanya kenapa? Mikirin omongan Pakde tadi?" Nuha pikir dia hanya asal menebak, tapi begitu mendapati Sena dia cukup lama, di seberang sana, Nuha yakin jika tebakannya benar. "Jangan dipikirin, lagian kan tadi gue juga udah ngomong, kalo nggak harus santriwati yang bisa jadi istri gue."

"Nuh, tapikan keluarga lo itu agamis banget. Budhe lulusan pondok, Pakde lulusan pondok, bahkan rata-rata semua orang di kampung ini juga lulusan pondok. Dan, gue rasa ... Pakde nggak salah kalo emang maunya lo juga nikah sama cewek yang juga lulusan pondok pesantren."

"Sena, please." Sangat ketara jika Nuha sedang tidak ingin membahas hal ini lagi.

Tapi Sena memiliki sisi lain, dia harus benar-benar memastikan apakah Nuha memang tak keberatan mendapatkan istri seperti dirinya.

"Gue juga denger katanya lo banyak dijodohin sama cewek-cewek kampung sini, dan mereka semua santriwati."

"Sayang ... "

Sena meremas kain kelambu di dekatnya, dia tahu Nuha mulai muak, tapi Sena juga masih belum puas.

"Nuha, gue salah ya masuk ke kehidupan lo?" Suara Sena mulai serak.

Iqlab ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang