Hari ini Sena menghabiskan waktu sorenya di rumah bersama sang Nenek mertua, keduanya duduk di lantai teras sambil mengupas ubi. Katanya sih Nenek ingin membuat kue dengan itu. Sena tidak mengerti, tapi karena dia mau menjadi cucu menantu yang baik, makanya ikut-ikutan membantu.
Hubungan mereka terbilang sangat baik, Nenek dari Nuha menyambut kehadiran Sena dengan terbuka. Para tetangga tahunya Sena itu adalah saudara jauh dari keluarga Nuha, makanya dia merasa cukup aman berinteraksi dengan orang-orang di sekitar lingkungan sini.
Pernikahan Sena dan Nuha benar-benar menjadi rahasia besar, mereka melakukannya bukan karena malu saling mengakui satu sama lain, tapi karena takut orang-orang tidak bisa mengerti latar belakang terjadinya pernikahan ini dengan tepat dan menebar stigma negatif yang nantinya akan menganggu.
Meski sebenarnya, Sena juga tidak akan peduli sekalipun orang akan mengecapnya sebagai apa. Malah Sena lebih khawatir lagi jika Nuha yang terkena cap buruk karena hubungan ini.
Nuha itu pemuda yang terkenal baik di lingkungannya, dia tinggal di pondok pesantren sejak masih SD dan baru berhenti ketika Ayahnya meninggal, tepat saat Nuha mulai masuk kelas 2 SMA. Jadi sebenarnya, Nuha itu termasuk murid pindahan.
Ngomong-ngomong tentang Nuha, batang hidung pria itu tidak kelihatan sejak terakhir kali pulang sekolah. Sena mulai bertanya-tanya dalam kepala, tapi tidak dapat jawaban. Jadilah dia harus bertanya pada Nenek secara langsung.
"Nuha kemana ya, Nek? Kok tiap sore ngilang mulu?" Pertanyaan Sena tidak salah kok, Nuha memang suka menghilang setiap sore dan pulang setelah Maghrib. Awalnya Sena tidak terlalu memusingkan, tapi lama-lama penasaran.
"Di masjid, biasanya suka ngajarin anak-anak ngaji, sekalian jama'ah di sana."
Mendengar jawaban yang sangat positif, Sena mengangguk sambil tersenyum. Suaminya benar-benar idaman dunia akhirat, tidak salah kalau sejak awal Sena itu tertarik dengan Nuha.
"Masjidnya jauh nggak?" Sena jadi penasaran.
"Enggak, cuma di pertigaan depan itu belok kiri. Kubahnya aja kelihatan dari sini," tunjuk Nenek, Sena sekali lagi mengangguk, dia memang bisa melihat kubah masjid itu dari tempatnya duduk. "Sena terusin, ya? Ubinya dipotong kecil-kecil terus dicuci, Nenek mau sholat dulu."
"Iya."
Kegiatan Sena sore itu terus berlanjut. Sejujurnya dia tidak terlalu pandai dalam masalah memasak, mungkin masakan Sena hanya itu-itu saja. Apalagi sampai membuat kue, Sena jelas angkat tangan. Yang dia lakukan tak lebih hanya mengikuti instruksi dari Nenek Nuha sambil sesekali kebingungan.
Kadang Sena itu suka malu sendiri, dia yang kekeuh mengajak Nuha menikah, tapi berujung tak bisa diandalkan dalam banyak hal. Bukan hanya masalah rumah tangga saja, tapi juga masalah di sekolah. Apalagi masalah organisasi, Sena punya posisi yang terbilang penting dan dia malah begitu pasif dalam menjalankan tugasnya.
Sena tahu kok, jika belakangan ini para anggota OSIS sering membicarakan dirinya, bahkan Anin-partnernya sendiri terang-terangan memintanya untuk mengundurkan diri karena merasa jika Sena tidak berguna. Sena sebenarnya terima-terima saja, dia bukan orang yang segan sadar diri. Tapi sebelum itu, Sena rasa dia butuh pendapat Nuha.
Selepas maghrib, Sena berdiri di teras sambil menyenderkan tubuhnya pada tiang rumah menunggu kepulangan Nuha. Suaminya itu benar-benar betah tinggal di masjid. Sena jadi khawatir, bagaimana kalau Nuha pulang subuh?
Beruntungnya pertanyaan tersebut hanya bayangan Sena saja. Nuha sudah terlihat pulang dengan baju lengan panjang lengkap dengan sarung hitam dan peci dengan warna senada. Dari kejauhan sudah terlihat raut tanda tanya dari Nuha ketika melihat Sena berada di luar menunggunya. Gadis itu bahkan melambaikan tangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iqlab ✓
General FictionCOMPLETED [1] "Lo istri gue, artinya gue punya tanggung jawab dan hak penuh atas diri lo. Kewajiban Lo yang paling penting cuma satu, nurut sama suami. " • Nuha Ali Marzuki "Siti Hawa pernah cemburu sama Nabi Adam karena dia telat pulang, padahal...