"Na, duluan, ya!" Hesti menepuk punggung Sena. Bel pulang sekolah baru saja berbunyi, selain Hesti, beberapa murid pun sudah berhamburan meninggalkan kelas. Hanya saja Sena masih terlihat sibuk merapikan mejanya.
"Iya, duluan aja," balas Sena sekenanya, dia masih sibuk mencari pulpennya yang jatuh di bawah meja.
Tak hanya Sena, Hesti juga terdengar berpamitan dengan Nuha yang juga masih belum beranjak dari bangku. Sena hanya bisa terus-terusan menghela napas dan bersabar mendengar segala macam celoteh yang Hesti berikan pada suaminya. Ya meskipun Nuha juga tidak pernah menanggapi dengan serius, tapi hati istri mana sih yang tidak kesal melihat suaminya digoda wanita lain setiap hari?
Tapi barangkali ini juga yang dirasakan Nuha tiap kali melihat Sena didekati pria lain sekelas Azar dan juga Hersa. Malahan jika dipikir, Hesti belum ada apa-apanya ketimbang mereka berdua. Jadi, kalau Nuha bisa sabar, kenapa Sena tidak?
"Udah?" Tahu-tahu Nuha sudah berada di depan Sena, menunggu.
"Eoh?" Sena menatap sekelilingnya, hanya tersisa mereka berdua di dalam kelas. "Lo nungguin gue?"
"Iyaa, hari ini pulang bareng aja."
"Jangan, biar dijemput Irul aja," tolak Sena seraya bangkit dan memakai tasnya.
"Jadi milih ojek daripada suaminya?"
"Mulai, deh," Bola mata Sena berotasi malas. Hanya karena tukang ojek, Nuha merasa diduakan. "jangan karena beberapa bulan lagi kita lulus, lo mau bongkar status kita," terangnya.
Nuha berusaha menyamakan langkah Sena setelah keduanya meninggalkan kelas. "Emangnya lo nggak capek kaya gini terus?"
"Ya terus kalo nggak kaya gini harus gimana?" Sena melirik Nuha sebentar. "Lo mau ngomong ke semua orang kalo kita udah nikah? Nggak mungkin, kita bisa sama-sama didrop out dari sini. Terus kalo bilang kita pacaran? Yang bener aja, masa seorang Nuha Ali Marzuki pacaran?"
Kalau membahas lelah, sebelum menikah dengan Nuha, Sena juga sudah lelah. Dan memaksakan sesuatu yang belum waktunya hanya akan menambah masalah. Sena tidak mau Nuha terkena imbas dari kebodohannya. Iya, Sena bodoh karena menyeret Nuha ke dalam kehidupannya yang penuh masalah.
"Pada akhirnya, kita yang kaya gini akan lebih baik, Nuh. Gue nggak butuh banyak pengakuan dari orang-orang kalo lo itu punya gue, cukup dari lo aja. Emangnya kenapa, sih? Lo capek?"
Nuha menggeleng. "Enggak, gue ngikut apa yang menurut lo nyaman aja, Na."
"Semua hal itu ada masanya kan, Nuh? Tenang aja, nanti akan ada saat di mana dunia tahu kalo kita suami istri yang sah."
"Tapi gue lebih suka kalimatnya gini, nanti akan ada saat di mana dunia tahu kalo kita suami istri yang saling mencintai karena Allah."
Diam-diam Sena meremat tali ranselnya, tanpa Nuha ketahui pula, bibir bawah gadis itu tergigit kecil menahan rasa salah tingkah yang menggetarkan seluruh ornamen tubuhnya.
"Gini ya kalo punya suami santri tuh, mau ngomongin apa aja bawaannya serius, harus tetep ada hubungannya dengan Tuhan."Sena tertawa ringan. Lumayan untuk mencairkan suasana.
"Kan ada hadist-nya, kalo kita sama-sama saling mencintai karena Allah, maka dengan rahmat-Nya insyaallah kita bisa masuk surga."
"Aamiin, gue juga cinta lo karena Allah kok."
Sambil terkekeh Nuha mengangguk, dia percaya.
Usai sekian langkah terlewati, Sena dan Nuha berhenti di area parkir. Niatnya mereka pulang bersama agar bisa sampai rumah lebih cepat, mengingat Nuha harus mengabulkan kado permintaan Sena untuk bertemu dengan Ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iqlab ✓
General FictionCOMPLETED [1] "Lo istri gue, artinya gue punya tanggung jawab dan hak penuh atas diri lo. Kewajiban Lo yang paling penting cuma satu, nurut sama suami. " • Nuha Ali Marzuki "Siti Hawa pernah cemburu sama Nabi Adam karena dia telat pulang, padahal...