Selama ini, Sena benci dengan yang namanya kejutan. Dia tidak suka mendapati sesuatu yang sebelumnya tidak pernah ia bayangkan. Karena apa? Sena pernah memiliki kenangan buruk tentang itu.
Sejak kecil, Sena tidak pernah merayakan hari pertambahan usianya. Semua hari, tanggal, atau bahkan bulan, tidak ada yang spesial di mata Sena. Semuanya terasa sama saja.
Tapi kemudian, pernah datang satu momen di bulan September saat Sena mendapati Ibunya membawa sebuah kue berhias stroberi merona dengan lilin berbentuk angka 7 menyambutnya usai pulang sekolah.
Sebuah kejutan, Sena bahkan masih ingat bagaimana raut polosnya saat Ibu berusaha membujuk agar ia mau meniup lilin itu. Katanya hari itu adalah hari ulang tahun Sena. Dan Sena sama sekali tidak mengetahuinya.
Sayangnya kejutan itu tidak berakhir semanis kue stroberi yang kabarnya Ibu buat dari pagi dengan tangannya sendiri. Semua justru berakhir kacau hanya karena niat bodoh dari Sena yang sekonyong-konyong ingin memberikan potongan kuenya untuk sang Ayah.
Padahal sejak kecil Sena tahu, Pak Raden tidak pernah sekalipun menyukainya. Hari itu tangan kecil Sena tertampik, kuenya jatuh berceceran di atas lantai.
Sampai sekarang Sena menyesal, harusnya waktu itu dia tidak perlu bersikap dramatis sampai menangis keras hanya karena merasa begitu tersakiti. Dengan begitu, Ibu tidak perlu susah-susah memenangkan dirinya sampai harus bertengkar hebat di depannya.
Mental Sena tergoncang.
Dari situ, Sena tidak lagi menginginkan kejutan ulang tahun. Sena juga tidak ingin kejutan-kejutan lainnya, termasuk mengetahui jika Pak Raden bukanlah Ayah kandungnya serta penyakit dan juga kematian Ibu. Sena benci kejutan itu.
"Tapi kejutan hari ini indah banget, gue nggak akan benci."
Sena membasuh wajahnya yang semula penuh dengan sabun, dia harus menetralkan wajah itu agar tidak terus-terusan senyum-senyum sendiri seperti orang gila.
Setelah dibasuh air berkali-kali pun, wajah Sena masih terasa panas, bibirnya juga terasa berdenyut sebab sedari tadi menahan agar tidak berteriak.
"Nuha," Sena menatap pantulan dirinya di cermin. "Dia cinta sama cewek modelan kaya gue ini? Nanti kalo orang tahu dikira gue pakai pelet, lagi."
Sena seolah merasa kehilangan kepercayaan dirinya yang dulu. Dan dia butuh waktu untuk mengembalikannya, karena Sena tahu, jika dia banyak bersikap malu-malu, yang ada hubungannya dengan Nuha akan canggung seperti pengantin baru. Sedangkan Sena paling tidak suka jika harus terjebak dalam situasi awkward.
"Na, lo di dalem?" Suara Nuha dibarengi dengan ketukan pintu.
"Mampus." Sena kelabakan mencari di mana ia meletakkan jarum pentulnya. Astaga, dia belum siap berhadapan dengan Nuha lagi setelah insiden di bawah pohon jambu sore tadi.
"Lo nggak lagi mandi, kan? Gue masuk, ya?"
"Arrgh, bodo amat." Sena menahan sisi jilbab di bawah dagunya menggunakan telunjuk dan ibu jarinya, lalu pergi keluar sebelum Nuha membuka pintu kamar mandi.
Lelaki itu terlihat terkejut karena cara Sena keluar terlihat sama seperti saat orang keluar dari rumah hantu. Nuha menurunkan tangannya yang baru saja ingin memegang gagang pintu.
"Kenapa?" tanya pria itu bingung.
"Gapapa," jawab Sena singkat dan berlalu begitu saja tanpa sedikitpun melirik suaminya.
Sebuah garis halus menghiasi sudut bibir Nuha, apakah Sena tengah berusaha menghindari dirinya? Jika benar, Nuha tidak akan membiarkan hal tersebut terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iqlab ✓
Fiksi UmumCOMPLETED [1] "Lo istri gue, artinya gue punya tanggung jawab dan hak penuh atas diri lo. Kewajiban Lo yang paling penting cuma satu, nurut sama suami. " • Nuha Ali Marzuki "Siti Hawa pernah cemburu sama Nabi Adam karena dia telat pulang, padahal...