45. An Option

6.6K 463 3
                                    

Usai berpelukan cukup lama dan menenangkan suasana hati Sena, sambil menunggu waktu ashar Nuha mengajak istrinya itu untuk duduk di ruang tengah sambil menonton televisi. Kalau-kalau kartun kembar botak dari negeri Jiran yang Nuha pilih bisa mengembalikan mood Sena seperti sedia kala.

Barusan Nuha tahu kenapa Sena selalu mengeluh jika ia mendiaminya, karena memang rasanya sangat tidak mengenakkan, Nuha merasakannya sekarang. Sena yang biasanya banyak bicara sekarang malah memilih diam usai pertengkaran beberapa saat yang lalu.

Menjahit ulang kain yang telah sobek memang membutuhkan waktu, begitu juga yang Nuha lihat dari Sena. Setelah banyak hal yang berusaha Nuha luruskan, Sena pastilah butuh waktu untuk menerima bahkan mencernanya.

"Minum dulu." Nuha kembali dari dapur dengan segelas air coklat bercampur remahan es batu. Dia pernah dengar jika coklat adalah sebaik-baiknya pengembali mood wanita. "Jangan lupa baca bismillah," ucapnya mengingatkan begitu Sena mau menerima gelasnya.

Selagi minum, Nuha tidak ingin melewatkan untuk menyirami Sena sentuhan lembutnya. Nuha bahkan tak bisa berhenti untuk mengelus-elus surai Sena yang kian hari kian memanjang cantik. "Bukti cinta kaya apalagi sih, Na, yang harus gue tunjukin ke lo?" gumamnya masih terdengar cukup jelas oleh Sena.

Meski begitu Sena masih diam, memilih mengunyah habis remahan es batu dalam gelasnya. Setelah apa yang ia lakukan, Sena merasa canggung untuk sekedar kembali berbicara dengan Nuha. Dan bukankah cinta adalah seni yang tidak akan ada habisnya untuk dibuktikan? Selama Nuha bisa membuktikannya, Sena tidak akan pernah merasa puas.

"Kalo masih marah, nggak apa-apa diem, tapi nggak boleh minta pisah."

Pada kenyataannya, mereka hanya sama-sama ingin menggenggam dan memiliki satu sama lain, itulah kenapa keduanya terkesan egois di mata masing-masing.

Sena memegang kepalanya yang sejenak terasa beku, lantas kemudian mengangguki perkataan Nuha. Kasihan juga mendiami pria itu jika terlalu lama, tapi di sisi lain Sena malah suka. Dia bisa melihat bagaimana usaha Nuha dalam meraih perhatiannya lagi.

Salah satu usaha terbesarnya adalah menceritakan kepada Sena tentang pertemuannya dengan Aziza beberapa saat lalu, dari awal sampai akhir.

Sebagai seorang wanita, Sena ikut memahami betul apa yang Aziza rasakan, terlebih lagi masalah yang dihadapi keduanya hampir sama. Sama-sama dituntut untuk menikahi pria yang benar-benar tidak mereka inginkan.

Memang tidak ada yang salah dengan Nuha, tetapi Aziza juga hanya manusia biasa yang diberi banyak pilihan, dan Nuha bukanlah pilihan itu. Barangkali.

Perbincangan Nuha dengan Aziza termasuk perbincangan terpanjang mereka selama bertahun-tahun saling mengenal. Bahkan suara Aziza yang berselimut kesedihan masih belum sepenuhnya hilang dari kepala Nuha.

"Jangan buang air mata kamu untuk pria seperti saya, Za. Saya tahu kalo sebenernya kamu juga nggak begitu menginginkan hubungan ini, kan?"

Saat itu Nuha tak memiliki maksud apa-apa, dia hanya memastikan apa yang dilihatnya dari Aziza dan juga Kyai Zakaria. Nuha merasa seolah-olah sikap Aziza terhadapnya hanya semata-mata karena Kyai Zakaria, bukan dari hatinya sendiri.

"Kenapa Kakak bisa ngomong kaya gitu?" Tanpa Nuha ketahui, Aziza tengah memainkan kuku-kukunya gelisah.

"Jujur, Za. Saya kenal kamu dari usia saya 10 tahun, kamu yang bahkan sering nyamperin saya dan ngajak saya main. Dan saya juga sering liat gimana seneng dan sedihnya kamu. Meskipun kita udah nggak bisa sedekat dulu lagi, saya masih bisa tahu, kalo kamu nggak bener-bener seneng sama semua ini."

Tidak ada yang bisa memelesetkan peluru yang telah menancap pada sasaran, begitu pula dengan yang namanya kenangan. Aziza tidak bisa mengelak ketika seorang memutar dan membuatnya kembali ingat.

Iqlab ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang